Monday, 13 April 2015

Energi.

Energi. 

Setelah melewati beberapa waktu dan bertemu dengan sebuah peristiwa kehidupan yang menjadikannya sebuah titik balik, kini saya memahami arti kata energi dalam kehidupan. 

Personal. Iya. Energi kehidupan personal.  Setelah sekian lama, jika saya menoleh ke belakang, kian banyak energi yang telah terbuang percuma. Orang bijak akan berkata, "tidak, energi itu tidak terbuang  percuma tetapi justru menjadikan kita yang sekarang. Karena energi itulah kita belajar". 

Ya, memang tidak terbuang percuma karena dengan begitu saya akhirnya belajar untuk memanfaatkan energi ini lebih baik lagi. Energi yang sepatutnya tidak dibuang dengan percuma, kini bisa memilah mana yang harus diberi energi lebih dan tidak.

Energi. Semakin lama kapasitasnya akan berkurang, di saat itulah manusia mulai harus pandai memanfaatkan energinya, karena mungkin saja bertambah tetapi berkurang itu hukumnya pasti. 

Apalagi dengan bertambahnya usia, energi semakin lama menipis jika tidak diimbangi dengan pola hidup dan disiplin yang baik. Keinginan selalu ada tapi hanya niat yang kurang kuat. 

*bersambung 

Friday, 10 April 2015

Salah.

A: Lalu, apa dan siapa yang mau disalahkan jika sekarang kamu jadi menaruh rasa sama dia?
B: Memangnya aku memberi tanggapan harus ada yang disalahkan?

A: Kamu terlihat cemburu.

B: Lalu, salah jika aku cemburu?

A: Tidak. Tidak salah. Tetapi, kamu salah dalam menyikapi sikapnya ketika dia datang dan memberi      tahu kamu soal perasaannya.

B: Ah! Kamu ini sok tahu. Aku hanya berusaha menyampaikan apa yang aku rasa dan ada di kepala.        untuk apa aku simpan dan lalu aku cerita kepada orang lain, contohnya ke kamu. Apa fungsinya?        Tidak akan merubah keadaan.

A: Memang tidak merubah keadaan, tetapi ada baiknya sebelum kamu mengambil sebuah keputusan        dalam mengambil sikap, pikirkan lebih matang lagi dan jangan terlalu galak lah jadi perempuan.        Tanpa kamu sadari, kamu kembali menjadi pribadi yang sombong.

B: Maksud kamu?

A: Aku tidak perlu menjabarkan. Kamu sudah tahu kok dimana letak kesombongan kamu.

B: Jadi, kamu menyalahkan aku?

A: Sekali lagi, aku tidak menyalahkan kamu. Gini ya, jika kamu tidak sombong dan tidak tergesa-            gesa dalam menyikapi, kamu tidak akan menaruh rasa sama dia. Kamu tidak akan mulai                      memikirkan dia hanya karena seharian ini belum berkomunikasi.

B: Ya, perasaan orang mana tahu sih.

A: Memang tidak ada yang tahu. Bahkan aku sendiri juga tidak tahu entah kamu marah atau tidak            sama aku sekarang karena ucapanku ini.

B: Aku tidak mengerti dengan keadaanku sekarang. Mungkin saja benar aku menaruh rasa sama dia, 
     karena apanya, aku sendiri masih mencari. Aku juga tidak mau jika perasaan ini hanya karena aku      merasa sepi dan mulai menaruh curiga sepertinya dia sedang mulai mendekati orang lain.

A: Tuh kan! Kamu sendiri akhirnya bicara. Sudahlah, kamu sudah tahu apa jawabannya. Asumsi              yang ada di kepala biarkan saja jangan diberi ruang karena percuma emosi dan energi mu akan            habis tanpa makna.

B: Sederhana sih, aku pikir dia memang serius tetapi dia tampaknya orang yang tidak mau ambil              pusing. Tapi, sialan juga! Kalau saja aku bisa lihat keseriusan dia, mungkin aku akan                            mempertimbangkan atau kalau memang dia benar suka, dia tidak mungkin mengalah begitu saja.   
     Sial! Mungkin karena aku pernah menyatakan ketertarikan tetapi aku takut. Sehingga dari situ dia      sudah merasa menang. Aku kesal dibuatnya.

A:Sudahlah tidak perlu kamu pusingkan. Jika dia memang benar suka dia akan datang lagi ke kamu,       jika tidak, ya kamu tidak rugi apa-apa. 

B: Iya, memang tidak rugi apa-apa, tetapi aku nyaman cerita sama dia.

A: Ya sudahlah. Kalau memang waktunya kalian bersama, kalian akan bersama kok. Toh, kamu juga      masih punya ketakutan dan kamu sendiri belum mau membuka diri.

B: Aku cuma ga suka dia mulai membaca diri aku dan mulai mendiktenya di depan mukaku. Bukan        berarti aku mulai membuka diri dia bisa dengan mudah mendikte setelah menilai diriku. Aku              benci mengetahui tambah satu orang lagi yang mengetahui keburukkan aku dan hanya akan dilihat      keburukkan aku saja. Aku benci. 

A: Sudahlah. Percuma kamu simpan rasa benci tidak akan mengubah penilaian dia terhadap kamu.          Biarkan saja dia. 

B: Tapi, terbesit rindu komunikasi dengan dia.

A: Kirimkan saja rindu itu melalui angin.

B: Iya.

A: Mau pulang dan istirahat?

B: Lagi, aku salah lagi.

A: Sudahlah, kesalahan kamu adalah pengalamanmu menuju yang memang untukmu. Jika kamu              tidak melakukan kesalahan, kamu akan kembali sombong. Dengan kesalahan kamu kembali                diingatkan oleh Sang Pencipta. Maka, bersyukurlah dengan itu.

B: Iya. aku mau pulang dan istirahat. Mobil kamu parkir dimana?

A: Di samping mobil kamu. Yuk?!

B: Yuk.

Wednesday, 8 April 2015

Malam.

Pukul 01.37


Malam. Bagi saya selalu menjadi sebuah waktu istimewa. Selain karena malam adalah waktu untuk pulang setelah beraktifitas di kantor, malam juga adalah waktu untuk saya menerawang jauh, entah ke masa kini, masa depan ataupun ke masa lalu. 

Ada kalanya malam bagi saya menjadi waktu yang begitu istimewa, rasanya tak ingin pagi segera datang, ingin setiap detik malam melambat saja. Tetapi, ada kalanya malam menjadi waktu yang mengkhawatirkan, saya menjadi takut, sedih, ingin menangis tak berhenti. 

Saya merindukan waktu malam ketika saya merasakan tenang, kesunyian dan hampa, merasa dekat dengan Sang Pencipta, hubungan intim di kala saya bersujud dan mengakui sambil terbayang hal dan ucapan apa saja yang telah saya lakukan hingga mungkin menyakiti ataupun menyinggung orang.

Namun, kali ini malam bagi saya menjadi waktu yang tak tentu arah. Semua perasaan campur aduk seperti kabut yang kalut hingga menutupi jarak pandang. Di detik ini saya merasa tenang, namun di detik kemudian saya merasa marah, lalu di detik berikutnya saya merasa sedih, dan kunci pasti untuk ini adalah tenang. 

Ketenangan, saat ini bagi saya seperti berada di perahu terombang ambing di laut ketakutan, angin menghajar dari kiri dan kanan, gemuruh petir dan awan hitam pekat, sambil berdoa semoga esok matahari menyingkapkan sinarnya, merobek awan-awan hitam hingga sinar matahari menembus masuk, beri harapan bahwa esok sinar matahari akan menjadi penjaga dan berikan ketenangan. 

Malam, kini bagi saya menjadi waktu terlemah. Ya, titik terlemah dalam waktu saya. Ketika beberapa menit lalu mencoba untuk menutup mata, setelah, sebelumnya mencoba mengundang kantuk dengan membaca, saya putuskan menutup buku itu langsung. Lalu, bayangan dan pikiran akan perubahan yang akan terjadi di bulan depan membuat saya jadi ciut. Bagaikan anak kecil yang mencari perlindungan pada Ibu karena suara petir yang menggelegar. Saya rindu bermanja dengan Ibu, atau mungkin saya lupa apa pernah saya bermanja-manja dengan Ibu. Di umur saya yang hampir akan berkepala tiga, dalam waktu dua tahun, saya justru ingin sekali bermanja-manja dengan Ibu. Terlebih di waktu malam. 

Kemudian, ada keinginan ingin menghabiskan waktu bersama Ayah. Sayangnya, hanyalah sebuah khayalan, namun tak salah bukan jika berkhayal? Yang menjadi soal adalah bagaimana mewujudkannya? Dan, bagaimana jika tidak terwujud? Lalu, bagaimana saya akan menyikapinya? Sedih? Sudah pasti! Tetapi, perlukah disesali karena telah mencoba? Tidak. 

Beberapa waktu belakangan ini, malam saya menjadi pilu. Amarah yang membuncah karena emosi. Sepele, karena komunikasi yang tidak tepat dan karena saya sudah antipati. Sungguh sedih melihat kondisi ini, saya ingin berkomunikasi dengan baik tapi nyali saya belum terkumpul rapih dan saya cenderung sensitif sehingga akan mudah sekali menangis. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa saya adalah pribadi perasa. Terutama jika menyangkut hal-hal tentang keluarga, cinta dan rasa. Namun, soal cinta, saya kesampingkan saja, saat ini, karena cenderung skeptis. 

Konsentrasi saya terpusat pada keluarga. Malam menjadi perih, saya ingin berada di tengah kasur mereka. Ingin menciutkan kembali badan saya dan merengek manja pada mereka. Inginnya begitu. Pilu rasanya tahu akan realita yang ada. Ah, saya memang melankolis  jika menyangkut mereka. Meski ada rasa kecewa terhadap mereka, tapi saya sayang bahkan cinta. 

Mengingat kembali di hari itu. Di saat mereka menjemput saya di bandara setelah kepulangan saya dari Bali, hasil kabur dari masalah patah hati, saya merasa tak ada yang tulus menyayangi. Namun, malam itu (ya, malam hari) mereka jauh-jauh dengan tulus sengaja menjemput ke bandara karena tahu selepas malam bis Damri akan lama di dapat untuk jurusan Bekasi. Mereka baru saja pulang dari kantor, dari kejauhan keduanya terlihat sudah berumur, meski masih terlihat gagah dan elegan dengan pakaian kantornya. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe, dari kejauhan saya melihat mereka saling diam, langsung jelas teringat realita hubungan mereka bagaimana, tapi saya tepis realita itu karena bukan itu yang menjadi fokus saya tetapi bahwa terlalu bodoh bagi saya berpikir bahwa tak ada orang yang akan dan mau mengasihi saya dengan tulus, tanpa harus menuntut ini dan itu. 

Mereka adalah bukti nyata yang mengasihi saya dengan tulus, menerima saya dengan baik dan buruk meskipun (tetap) ada tuntungan ini dan itu. Terlepas dari itu, kasih mereka tanpa pamrih, tanpa saya minta mereka akan beri lebih. Jika saja, kami terbuka, mungkin malam itu saya ingin memeluk mereka erat dan tanpa sadar air mata pun jatuh di pipi. Nyatanya tidak begitu, saya mencium kedua tangan mereka, dan dalam hati saya menangis sambil mengucap terima kasih. 

Karena malam itu, saya pun menjadi tenang. Bahwa seberapa pesimisnya saya merasa tak akan ada orang yang mau menerima dan mengasihi saya tanpa tuntuntan, saya akan selalu ingat bahwa akan selalu ada mereka yang kasihnya akan terus mengalir tanpa henti untuk saya. Baik saya minta ataupun tidak. Haruskah saya meminta? Tidak. 

Ketakutan malam cenderung mengarah kepada kekecewaan. Takut buat mereka kecewa. Ya, lagi-lagi karena saya perasa dan pemikir. Pemikir kepada hal-hal yang sebenarnya tak perlu dipikirkan sekarang karena justru saya akan lupa menikmati masa sekarang. 

Malam ini, tetiba datang perasaan sayang, sedih dan juga rindu secara bersamaan. Terlebih kepada rasa rindu, rindu mereka, rindu menjadi anak kecil sehingga bisa bermanja nakal sekaligus menjaili mereka, membuat mereka tertawa dan geleng kepala karena tingkah konyol saya bukan karena tingkah saya yang belakangan ini mungkin bikin mereka sakit kepala dan (mungkin) kecewa. Sungguh dalam hati tak ingin saya buat mereka kecewa, saya ingin selalu buat mereka bangga. 




Takut.

Sudah lama rasanya saya tidak merasakan sebuah kenikmatan menulis. Entah apa yang ada di pikiran saat ini. Sejujurnya, isi kepala bagaikan benang kusut atau kertas robek yang sudah carut marut dan bertebaran di lantai. Ingin semua diurai secara pelan-pelan.

Ada yang mengatakan menulis adalah sebuah cara atau meditasi terbaik untuk meluapkan emosi dan pikiran karena kekhawatiran akan anggapan orang lain tentang apa yang sedang kita hadapi. Seiring waktu, setiap individu ingin berbagi tanpa ingin dihakimi atau didikte atau dikomentari. Intinya, setiap individu ingin didengar, namun semakin kompleks kehidupan, terutama hidup di ibukota, semakin sulit untuk mencari telinga-telinga yang rela untuk mendengarkan.

Semenjak kepulangan saya dari menuntut ilmu di Inggris, ketakutan saya hanya satu, yaitu bahwa saya akan kembali kepada pola lama, baik dari internal dan eksternal. Sebulan pertama, saya merasa percaya diri dan langkah yang sedang dijalani terasa pasti meskipun tahu bahwa ekspektasi akan sebuah perubahan signifikan akan minim terjadi. Tuntutan hidup di kota besar selain dari pemasukan bulanan menjadi poin yang digaris bawahi semenjak kepulangan, tuntutan umur dan sosial pun mulai satu per satu ikut di belakangnya.

Saya merasa kala hidup di Inggris selama empat belas bulan memberikan saya banyak arti, nilai dan pemahaman akan hidup itu sendiri. Ketika saya yakin akan sebuah pemikiran dari hasil pengalaman maupun kontemplasi di kesendirian malam. Akhirnya, saya menemukan satu lagi jawaban akan pribadi saya, yaitu takut.

Sebelum keberangkatan, saya pun mengalami sebuah titik balik yang akhirnya membuat saya menyadari bahwa sombong adalah salah satu sifat saya, mengetahui, membuka, menyadari hingga mengakui pada diri sendiri membutuhkan waktu kurang lebih 20 tahun ketika saya mulai memahami dan terjun langsung ke dalam kehidupan. Kehidupan itu saya namai "kehidupan orang dewasa". Ya, saya ini pribadi yang sombong, tak perlu lah saya jabarkan apa, kata "sombong" sudah mampu mewakili.

Ya, saya adalah seorang penakut sekaligus sensitif sekaligus terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang diri saya. Orang mungkin akan menilai, sudah jauh dan berani pergi ke negeri barat, menuntut ilmu tetapi masih saja takut. Apa salahnya memiliki rasa takut?

Saya muak dengan pandangan orang lain, penilaian terhadap diri saya hingga membuat saya kehilangan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa saya mampu. Belum lama ini, saya baru kembali dari Aceh. Pergi ke desa pedalaman dalam rangka tugas peliputan, di dalam desa yang terletak di lembah pegunungan, sunyi, sepi, gelap bahkan sinyal telepon genggam pun tak ada, saya justru merasakan sebuah rehat yang nyaman dari dunia digital.

Duduk dan merokok di depan rumah Bapak kepala desa bersama tim yang sedang melepas lelah setelah seharian beraktifitas. Kami duduk tertawa, berbicara dengan topik yang berubah-ubah, mulai dari batu akik, agama, politik, hingga lagu dangdut. Ada kenyamanan yang sepertinya lama dirindukan jika mengingat kehidupan di kota besar. Sederhana saja, duduk, berbicara tanpa ada gangguan keinginan untuk melihat telepon genggam meskipun pada malam itu pikiran saya banyak menerawang ke dalam hidup saya sendiri. Malam itu saya memasang topeng, raga saya bersama mereka tapi tidak dengan jiwa saya yang mulai terbang dari satu titik ke titik lain, berusaha memikirkan jauh ke dalam diri, apa yang sebenarnya sedang terjadi pada hidup saya saat ini.






Saturday, 14 March 2015

Bandung.

Ada apa dengan Bandung!
Selalu saja membuat jantung berdegup
Pagi, siang, sore hingga malam selalu teduh menyambut senyum.
Ada kisah sendu diantara pilu.


Meski begitu, bagi sekian ribu manusia yang pernah mengecap Bandung, selalu ingin mengasah rindu, di kota dingin yang syahdu. 


Siang itu di bawah pohon tinggi nan rimbun, aku melihatmu. 
Tak lepas pelipis mata mengawasi gerak-gerikmu. 
Kamu tersenyum mengajari anak-anak kecil dengan tulus. 
Aku tersipu malu memperhatikan dirimu. 


Seandainya umur kita tidak begitu jauh, mungkin (bisa) ada cerita tentang aku dan kamu. 



Friday, 31 October 2014

full.

No, I don't have anything to whine
No, I don't have anything to talk about
No, I don't have anything to share

But, I do have this abundance of feeling
Feeling with no name
Feeling of something
Feeling that makes me blissful

Life itself, has surprised me with lots of surprises
sadness, happiness, silliness, gratefulness
It surprises me so much
Leave me no time to feel anxious

Blissful, grateful, and thoughtful.

Friday, 28 March 2014

dua kata, yang selalu dihindari.


Selamat tinggal.

Dua kata yang seharusnya mudah untuk diucap tapi kenyataannya selalu saja sulit untuk diucapkan.

I have to say good bye to you, directly or indirectly. This two words will never said to you. Even you’re in front of me.

Mengucap selamat tinggal tidak semudah menutup buku yang sudah selesai kita baca. Hidup bagaikan lembaran kertas putih yang kita coret setiap harinya.
Mengucap selamat tinggal ini merupakan hal yang sulit bagi saya. Harus mengakhiri bagian cerita tentang kamu meskipun tidak pernah sekalipun ada andil dari kamu untuk ikut mencoret lembaran kertas putih milik saya ini.

Saya memang belum akan pergi ke dalam tahapan hidup yang lebih serius tapi saya harus mulai memutuskan sesuatu dan harus rela menjalani keputusan itu dan harus dengan rela pula berpisah dengan kamu. saya dan kamu memang tidak pernah memulai suatu hubungan yang istimewa. Tidak ada niatan lebih dari sekedar berteman biasa sejak pertama kali kita bertemu, tapi bagi saya kamu berbeda.

Semua berawal dari canda tawa, cerita dan berbagi pengalaman. Saya pikir kamu hanya bagaikan pemandangan indah dalam perjalanan hidup saya yang sempat pahit dan kamu sebagai penawar rasa manis yang membuat hidup saya kembali tersenyum, tertawa dan jantung saya berdenyut lagi. Seperti kembali hidup di masa tumbuh sebagai remaja yang mulai terpikat dengan lawan jenis.

Destiny, here I am
Giving all my days, I never felt so in love before
Forever is not enough
Nothing can tear us apart
To be at your side, forever
To be in your heart, forever
To be at your side, forever
To be in your heart, forever
Destiny, here I am
Forever is not enough


Kamu membawa perasaan itu kembali kepada saya, kamu pula yang membawa saya kepada mimpi-mimpi indah, kamu juga yang membuat saya merangkai harapan. Kamu juga yang membuat perasaan rindu yang tertahankan bagaikan sakit disengat semut merah, perih, gatal, kamu juga yang membuat simpul senyuman sebelum saya naik ke atas kamar kosan dan menutup pintu dengan senyuman, kamu juga yang membuat hari-hari saya bingung harus memakai baju apa, kamu juga yang membuat saya bersikap aneh meskipun telah saya berusaha keras untuk tetap bersikap biasa, kamu membuat dunia saya berputar kala itu di waktu yang sempit. Kamu membuat perasaan menunggu seperti menanti jatuhnya salju di kota Jakarta yang panas. Tidak mungkin.

Menunggu dan berharap tentang kamu memang seperti mengharapkan hujan di kemarau panjang atau seperti melihat bintang di malam hari dengan mata telanjang di keramaian lampu ibu kota. Tidak mungkin terjadi di kehidupan nyata tapi bisa terjadi dalam mimpi dan mimpi itu terjadi indah dan manis. Harus diakui menunggu dan berharap membuat hati ini lelah dan sakit. Ya, sakit dan lelah memang saya buat sendiri, seandainya bisa berkompromi dengan Tuhan lebih awal, saya tidak ingin ini terjadi tapi bisakah saya mengelak apabila Tuhan berkehendak?!. Kemudian datang dia di hadapan saya, menarik mata dan hati, tergoda ingin mencoba kembali apa yang selama ini hilang dalam kamus hidup saya. Awalnya takut untuk mencoba dan memulai. Takut terulang kembali rasa sakit di masa lalu, kegagalan dulu membayangi. Pada akhirnya saya mencoba tanpa ikatan, jalani saja dulu tanpa harus tahu kemana hubungan ini akan berlabuh. Harus saya akui, bukan hanya rasa sakit dan kegagalan di masa lalu yang membayangi, ada hal lain yang lebih kuat dari itu.

Bagaimana jika kamu datang dan mengakui bahwa ada sesuatu di luar pertemanan ini. Bagaimana jika kamu datang dan ingin kita mencoba lebih dari berteman. Bagaimana, bagaimana dan bagaimana?. Lalu saya berpikir, bodohnya memiliki pikiran seperti itu. Sebenarnya saya cukup tahu kamu seperti apa, cukup mengenal kamu seperti apa. Bahwa tidak mungkin saya dan kamu bersama lebih dari sekedar teman biasa. Apa kamu obsesi saya yang tidak atau belum terpenuhi??. Saya belum tahu.

Saya harus memutuskan sesuatu. Saya akan mencoba dengan dia. dia yang baik, dia yang sabar, dia yang sayang, dia yang mau mencoba berkali-kali dengan saya meski saya telah menyakiti hatinya karena saya masih mempunyai hati untuk kamu, dia yang ada di saat saya sedih, senang, marah, hingga sakit. Saya harus meneruskan hidup saya.

Saya yang perlahan menerima kenyataan bahwa diantara saya dan kamu tidak akan pernah melewati keadaan lebih dari teman biasa. Tidak ada tempat spesial untuk saya dalam diri kamu, berbanding terbalik dengan saya yang memiliki tempat spesial untuk kamu di hati saya. Ada di bagian hati saya, di dalam sana, dan berharap selalu ada. Namun suatu saat nanti harus saya tutup bagian itu dan harus dengan rela saya mengucap selamat tinggal. Harus saya kurangi kadar perasaan saya terhadap kamu.

I love you but it’s not so easy
To make you here with me
I want to touch and hold you forever
But you’re still in my dream


Kamu yang tidak pernah bisa saya rangkul, kamu yang tidak bisa saya peluk dan cium keningmu, kamu yang tidak pernah saya bisa temani dalam suka dan duka, kamu yang tidak pernah bisa saya temani ketika kamu sakit, kamu yang tidak pernah bisa saya temani ketika kamu terbaring lelah di tempat tidurmu. Kamu yang tidak pernah bisa saya temani di kala sedih melanda, kamu yang tidak pernah saya bisa siapkan sarapan dan makan malam. Kamu, kamu, kamu, kamu yang tidak akan pernah bisa berdiri di samping saya.

And I can’t stand to wait your love is coming to my life
Never thought that I would so strong
Stuck on you and wait so long


Kamu yang saya ingin rengkuh dalam dekapan, kamu yang selalu menari bebas di dalam pikiran saya, kamu yang membuat air mata ini jatuh perih ketika kepergianmu ke benua seberang. Saya harap kamu bisa mengerti perasaan saya, ketika malam itu saya mengungkapkannya. Bisakah kamu mengerti perasaan saya? Bahwa perasaan ini (mungkin) bukan perasaan selewat, bukan perasaan biasa, bukan pula perasaan kosong, bukan perasaan main-main. Meskipun sadar posisi saya. Saya tidak akan pernah bisa menyamai seseorang yang (pernah) ada di hati kamu.

Walau bagaimanapun setiap orang di lingkungan saya berusaha meyakini bahwa kamu hanya sebatas obsesi belaka yang belum bisa saya penuhi, ada hal di luar batas nalar dan luar batas kata-kata yang tidak bisa diungkapkan bagaimana perasaan saya ini. Kamu membuat saya menulis kembali, kamu menjadi ide dan inspirasi tulisan saya, kamu menjadi sebuah api yang menyala di setiap tulisan sederhana yang saya tulis, kamu menjadi sebuah simpul emosi yang hidup di setiap tulisan saya. Saya bukan penulis handal, saya juga bukan seorang yang pandai bermain dan merangkai kata tapi ada perasaan, emosi dan jiwa yang hidup di setiap barisan kata-kata yang saya rangkai dengan sederhana. Kamu yang membuat saya jadi seperti ini. Meskipun sekali lagi, saya sadar bahwa tidak akan pernah ada tempat spesial bagi saya di hidup kamu tapi saya akan tetap seperti ini terhadap kamu.

And I can’t stand to wait till night is coming to my life
And I still have a time to break a silence
When you love someone
Just be brave to say
That you want him to be with you

Saya tidak akan pergi kemana-mana, jika kamu mencari saya. Saya akan ada disini untuk kamu jika kamu membutuhkan saya meskipun saya tahu bahwa kamu tidak pernah dan berusaha untuk tidak bergantung dan membutuhkan orang lain dalam hidup kamu. saya tetap disini untuk kamu tapi, berat hati saya harus mengucap selamat tinggal jika waktu sudah tiba. Waktu dimana saya sudah benar-benar tidak bisa lagi berbagi hati dengan kamu, waktu dimana saya harus melepas kamu pergi, waktu dimana saya harus bersama dia dalam sebuah ikatan. Waktu dimana saya sudah memiliki dan dimiliki dan dijaga ikatan Tuhan. Seandainya semua bisa saya katakan, seandainya semua bisa saya habiskan semua. Seandainya saja saya tidak pernah bertemu kamu, maka akan lain ceritanya. Tidak, tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran saya menyesali keberadaan kamu di hidup saya. Kamu memang tidak seindah pemandangan danau segara anak dilihat dari puncak rinjani, tapi kamu berarti bagi saya. Kamu membuat cerita hidup saya menarik dan setidaknya kamu sudah tahu akan perasaan saya ini.

Jika Tuhan berkehendak antara saya dan kamu, maka waktu akan datang jika tidak maka waktu juga yang akan menunjukkan alasannya. Jadi, saat ini saya ingin mengucap selamat tinggal sementara. Kamu tidak perlu mengetahui itu, karena perlahan, alam dengan sendirinya akan memberi tahu dengan jalannya sendiri. Sekali lagi jika Tuhan berkehendak untuk saya dan kamu, alam juga dengan sendirinya akan memberi jalan.

When you hold your love
Don’t ever let it go
Or you will lose your chance
To make your dream come true


Saya dan kamu memiliki jalan hidup masing-masing, kini mari saling menikmati kemana petualangan hidup ini membawa kita sampai pada akhirnya kita tahu dimana akan berlabuh. Jika saya dan kamu bisa bertemu di pelabuhan yang sama maka saya bersyukur, jika tidak saya tetap bersyukur. Selalu ada alasan dibalik semua peristiwa dan petualangan hidup saya dan kamu. setidaknya kamu sudah tahu bagaimana saya terhadap kamu. jika ada waktu saya ingin mencium kamu, sekedar ingin tahu tentang perasaan saya ini.

Its not a message from a wise person but anonymously said that it all start with a kiss. When you kiss then you’ll know where you going afterwards. And others will said, you can also start with a hug, there you’ll know is he or she will be the person you can count on or not.

Faithful dreams

Baby, your all that I want to be here
Cause every time I close my eyes you’re always being around in my mind
And if tears are down in my arms, you’ll around me
Don’t you see, you’re heal my heart
From the pain
Can’t you see how, you’re holding my mind
So please understand me
Can’t you feel hoe
I’m living my life without you
So please don’t you leave me here
Baby, you’re all that I want to be hold
Cause you’re not in my side
You’re always spinning around in my mind


Untuk kamu disana.
“I’ll walk I live with my decision
to forget you…”