Dengan banyak
membaca, melihat, kemudian memahami sekaligus mengerti. Bahwa di Indonesia
begitu lekat dengan sistem patriarki. Banyak yang menjunjung nilai ini. Saya
tidak begitu paham apakah patriarki ini sebuah nilai, sistem atau budaya.
Ok. Ini mungkin tidak ada hubungannya, tapi entah saya ingin mengungkapkannya.
Ok. Ini mungkin tidak ada hubungannya, tapi entah saya ingin mengungkapkannya.
Belum lama ini
dua orang teman saya menyatakan sesuatu. Yang satu seorang laki-laki dan satu
lagi seorang perempuan. Ok, ini berarti seimbang. Maksudnya pemikiran dari dua
belah pihak. Jadi, di suatu sore ketika sedang bersantai di kantin kantor.
Seorang teman laki-laki yang adalah bos saya di kantor, datang dan
duduk di samping saya. Tiba-tiba tanpa ada petunjuk atau apapun, dia bertanya
mengenai hubungan saya. Dan kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah
menelanjangi saya di depan umum. Seolah dia mengerti apa yang sedang dihadapi saya
dan pasangan.
Akhirnya saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya takjub sekaligus malu dan bingung harus membalas apa. Sungguh bingung luar biasa. Sepertinya jika saya berhasil membalas semua kata-katanya, kalimat saya nanti akan terdengar sebagai perlawanan dari semua yang disampaikan. Tapi saya memiliki pemikiran bahwa saya juga bisa benar. Sifat perlawanan saya mengatakan, mengapa seolah saya yang terpojokkan.
Akhirnya saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya takjub sekaligus malu dan bingung harus membalas apa. Sungguh bingung luar biasa. Sepertinya jika saya berhasil membalas semua kata-katanya, kalimat saya nanti akan terdengar sebagai perlawanan dari semua yang disampaikan. Tapi saya memiliki pemikiran bahwa saya juga bisa benar. Sifat perlawanan saya mengatakan, mengapa seolah saya yang terpojokkan.
Saya tetap
bersikeras untuk tidak membuka hal pribadi. Saya masih bertanya-tanya apa dia
serius atau sekedar bercanda saja menyampaikan pendapat dan penilaiannya
terhadap hubungan saya. Kalau perlawanan saya mengatakan, apa hak dia menilai. Tapi
toh, akhirnya saya berpikir dia bebas untuk menilai dan memberi pendapat, hak
dia kok. Untung saja dia tidak menghakimi. Adzan maghrib berkumandang, dia
mengatakan akan pergi ke atas, ke ruangannya untuk sholat maghrib. Dia menunggu
saya di lantai tiga, di mejanya. Ada yang ingin dia tunjukkan kepada
saya. Sebuah tulisan yang ditulis oleh istrinya, katanya tulisan
inilah yang membuat dia merasa tidak salah memilih pasangan hidup. Istrinya membuat
dia nyaman. Istrinya membuat sebuah rumah yang ketika dia pulang darimanapun
dia pergi, dia merasa pulang ke rumah.
Saya pun beranjak dari kursi kantin kantor. Pergi ke lantai tiga bersama salah satu teman dekat saya. Saya mendatangi mejanya. Dia membuka laptopnya. Mencari-cari tulisan istrinya yang sempat dia publikasikan di facebook. Tapi dia cari tidak ketemu, akhirnya dia buka blognya. Ketemulah tulisan istrinya itu. Saya diminta duduk dan membacanya sembari dia pamit untuk mengambil wudhu dan pergi sholat.
Saya duduk tenang dan membaca tulisan istrinya perlahan. Saya tidak ingat persis kata per katanya tapi kurang lebih seperti ini isinya.
“dia pergi lagi, untuk kesekian kalinya. Dia seorang
alang, anak petualang. Tapi saya sudah biasa, dan saya ikhlas. Ketika saya
mengucap janji akan mendampingi dia. Saya ikhlas. Dia bukan milik saya. Dia
milik teman-temannya, milik anak-anaknya, dia milik semua orang. Saya ikhlas,
bagi saya tidak mengapa. Selama dia pulang, dan dia tahu kemana rumahnya
berada. And when he’s home, he’s home. Should I ask more??”
Kurang lebih
begitulah isi dari paragraft tulisan istrinya. Manis, indah dan romantis. Di
akhir tulisan ada sebuah paragraph yang ditulis oleh bos saya. Dia
menulis kira-kira begini.
"terima kasih ya Allah, bahwa Engkau telah memilih dia (disebut namanya) sebagai pendamping hidupku. Engkau memberikan seorang pendamping yang mengerti dan memahami diriku sekaligus membuat rumah bagiku".
Wow, romantis ya?. Sungguh, saya turut berbahagia sekaligus sedih. Indahnya jika saya juga bisa membuat seseorang merasa seperti itu, begitu juga sebaliknya.
"terima kasih ya Allah, bahwa Engkau telah memilih dia (disebut namanya) sebagai pendamping hidupku. Engkau memberikan seorang pendamping yang mengerti dan memahami diriku sekaligus membuat rumah bagiku".
Wow, romantis ya?. Sungguh, saya turut berbahagia sekaligus sedih. Indahnya jika saya juga bisa membuat seseorang merasa seperti itu, begitu juga sebaliknya.
Subhanallah. Bahwa cinta yang Engkau
hadirkan diantara kedua manusia itu sungguh indah, romantis tetapi juga terkadang sulit dimengerti dan sulit pula dijelaskan dengan kata-kata.
Saya berpikir. Baiknya dan bijaksananya jika saya sudah mampu berpikir dan bersikap seperti istrinya. Apabila saya sudah berada di tahap itu, insyallah saya sudah siap untuk menikah dan membangun sebuah rumah tangga. Namun, sisi lain dari sisi saya berpikir dan bertanya. Betapa egoisnya seorang laki-laki. Kenapa?. Dia dimengerti oleh seorang perempuan yang telah menjadi istrinya. Dia tahu bahwa istrinya memang tidak bergantung kepadanya, dia tahu istrinya mampu dan istrinya memahami betul bahwa dia tidak akan bisa mengubah dan menuntut banyak perubahan dari suaminya. Berarti jika begitu, istrinya yang mengalah.
Pihak perempuan yang mengalah. Mengalah untuk menghilangkan sebagian jati dirinya. Bagaimana jika kondisinya terbalik. Begini, bagaimana jika istrinya adalah seorang petualang, dalam arti istrinya senang berkelana ke alam. Bisakah dia memahami istrinya, sebagaimana istrinya memahami dia?. Saya belum tahu jawabannya.
Pikiran
saya semakin melebar. Jika seorang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk
menikah. Mereka secara sadar tahu akan perubahan yang terjadi dalam hidup
mereka nanti. Bahwa ketika mengambil suatu keputusan sudah tidak bisa memikirkan
dengan satu kepala lagi, tapi dengan dua kepala, dan entah kenapa, ketika dua orang
menikah, jati diri masing-masing individu harus bisa berkompromi dengan pernikahan, kalau tidak akan terus saja berbenturan, bukan begitu? atau akhirnya banyak yang mengalah menjadi seseorang yang bukan dirinya setelah menikah kalau tidak kuat-kuat iman, mungkin berpisah adalah solusinya.
Saya tahu, bahwa
jika mengungkapkan ini. Orang akan berkata “makanya kalau belum benar-benar
siap jangan menikah”. Mungkin contoh kasus istri bos saya ini adalah sebuah
kompromi dalam sebuah pernikahan. Menurut saya, itu sebuah kompromi yang logis dan dewasa (ok, saya bingung memilih kata yang tepat untuk mewakili sikap dari kompromi tersebut).
Meski begitu sisi pikiran sinis saya mengatakan itu tidak adil. Tapi apa hak saya menghakimi?. Itu adalah sebuah pilihan, dan setiap orang bebas untuk memilih bukan?. Saya bisa saja mengatakan itu tidak adil, dia tidak bahagia, karena perhatian yang seharusnya bisa dia dapatkan lebih nyatanya dia harus berbagi. Ketika suaminya, seharusnya menjadi miliki dia sepenuhnya, dia harus berbagi. Lalu bagaimana jika suaminya mengkhianati dia?, dengan kompromi dan sikap mengalah yang dia pilih.
Saya bisa saja mempertanyakan banyak hal, tapi saya memilih untuk meredam itu. Karena sisi pikiran lain saya timbul, yaitu kalau dia bahagia seperti itu bagaimana? Meski saya melihatnya dia kekurangan ini itu tetapi dia bahagia, saya mau bilang apa. Masihkah saya terus mempertanyakan keputusan istrinya. Istrinya bahagia, titik.
Meski begitu sisi pikiran sinis saya mengatakan itu tidak adil. Tapi apa hak saya menghakimi?. Itu adalah sebuah pilihan, dan setiap orang bebas untuk memilih bukan?. Saya bisa saja mengatakan itu tidak adil, dia tidak bahagia, karena perhatian yang seharusnya bisa dia dapatkan lebih nyatanya dia harus berbagi. Ketika suaminya, seharusnya menjadi miliki dia sepenuhnya, dia harus berbagi. Lalu bagaimana jika suaminya mengkhianati dia?, dengan kompromi dan sikap mengalah yang dia pilih.
Saya bisa saja mempertanyakan banyak hal, tapi saya memilih untuk meredam itu. Karena sisi pikiran lain saya timbul, yaitu kalau dia bahagia seperti itu bagaimana? Meski saya melihatnya dia kekurangan ini itu tetapi dia bahagia, saya mau bilang apa. Masihkah saya terus mempertanyakan keputusan istrinya. Istrinya bahagia, titik.
Poin yang saya
ambil dari sikap istrinya adalah, dia menyadari betul bahwa dia memang memiliki
dan bisa mendapatkan lebih dari suaminya, tetapi dia juga memahami dan mengerti bahwa dia harus berbagi, karena dengan berbagi hidup akan terasa lebih baik,
indah, dan harmonis. Meski porsi yang dia dapatkan tidak begitu banyak dari
suaminya, dia begitu mensyukuri setiap hal kecil yang dia dapat dari hidupnya.
Tidakkah sikap
seperti itu luar biasa dan mulia?. Tidakkah hidup terasa lebih ringan jika kita
mampu bersikap seperti itu?. Tidakkah bahagia melihat pasangan yang disatukan karena cinta dan kasih oleh Tuhan itu begitu luar biasa, hingga
kata-kata sulit untuk mewakili perasaan itu?. Bukankan agama-agama di dunia
mengajarkan kita untuk saling berbagi?.
Pandangan sinis
saya memang tidak hilang, tetapi perasaan terharu saya cenderung besar. Saya
tidak akan menghakimi, tidak juga menilai. Saya hanya berusaha memahami dan
berdoa, semoga di kemudian hari atau esok hari saya bangun pagi, bisa mulai
perlahan menentukan sikap dan bisa menjadi salah satu perempuan yang mampu bersikap dan berpikir seperti itu.
(Mungkin) memang sudah
sifat dasar laki-laki bahwa mereka berjiwa bebas. Bagaimana dengan perempuan?. Manusia pada dasarnya berjiwa bebas tanpa memandang laki-laki atau perempuan.
Cerita lain datang
dari teman perempuan saya di kantor juga. Belum lama ini pasangannya sedang
bertugas liputan khusus 100 hari keliling Indonesia. Tugas yang diemban
membutuhkan waktu selama kurang empat hingga lima bulan.
Saya
berkesempatan tukar cerita melalui media whatsapp.
Secara acak kami akhirnya bertukar cerita, soal hubungan dan pernikahan. Cerita
mengalir begitu lancar, seolah dia juga bisa melihat kegelisahan dan kesedihan
saya. Dia mengatakan bahwa saya memang terlihat sedih, butuh untuk didengar.
Sebegitu transparannya kah saya?. Padahal saya berusaha betul untuk tidak
mengeluarkan ekspresi saya, berusaha betul menyembunyikan masalah pribadi saya.
Sejak pengalaman
siaran radio dulu di Bandung. Saya memahami, mengerti dan akhirnya menjadi
prinsip bahwa ketika keluar rumah dan sampai di tempat kerja, masalah pribadi
menjadi urusan nomor dua. Sudah berusaha pun saya masih terlihat kalut. Wow,
mungkin saya terlahir tidak pandai bermain mimik muka ya.
Lalu, teruslah saling bertukar cerita, panjang dan lebar. Suatu keanehan, kami berdua di kantor hanya bertegur sapa, jarang sekali bercerita soal pribadi. Tetapi karena satu hal dan dalam satu malam. Duar!. Semua keluar, curahan hati colongan. Tiba-tiba dia menyatakan sesuatu, kurang lebih isinya begini.
“kalau aku ya hehehe curhat…..ga pernah maksa dia buat
selalu deket atau bareng sama aku tapi dia harus tahu dimana tempat pulang.
Maksudnya waktu untuk temennya dia, keluarganya, bukan aku aja. Kalau kamu mau
jadi rumah tempat dia pulang, kamu harus rela dia main, kerja, sekolah
(emoticon lidah melet)”
Nah, kurang
lebih poinnya sama dengan teman saya yang laki-laki, yaitu bos saya. Ketika
teman perempuan saya menulis ini. Saya tidak berpikir sinis. Ok, jujur masih
ada sih sedikit. Tapi bukan sinis yang besar. Saya justru malah berpikir,
mungkin inilah jawaban dari pertanyaan saya yang selama ini dicari, yaitu apa
yang akhirnya membuat seorang laki-laki bisa memilih pasangannya untuk
dinikahi. Itu dari sisi laki-lakinya. Nah, dari sisi perempuannya adalah
mungkin ini jawaban juga dimana seorang perempuan sudah cukup matang berpikir
dan bersikap hingga akhirnya dia siap dipilih dan dinikahi,
tapi secara sadar dia juga tahu bahwa meski dengan menikah, pasangannya itu
tidak sepenuhnya milik dia, tapi dia harus berbagi.
Sekali lagi luar biasa dan betapa terharunya saya. Kemudian saya mengevaluasi diri. Sudahkah
saya mampu berpikir dan bersikap seperti itu?. Mampu berbagi orang yang saya
kasihi dengan orang lain?. Tapi, bukan berpoligami ya. Ha ha ha.
Setiap kali
teman saya yang akan menikah, saya selalu melontarkan pertanyaan. Apa yang
membuat kamu memilih dia dan memutuskan menikah?. Dari sekian jawaban yang saya
dapat justru sama sekali tidak memuaskan saya, dan cenderung jawabannya klise.
Karena dia yang mengerti sayalah, karena mau ngapain lagi udah kerja, udah
pacaran lama, dia mengerti saya, jadi mau apalagi , bla bla bla. Justru
jawaban-jawaban itu tidak cukup matang. Entahlah, atau mungkin pertanyaan itu
cukup sulit untuk dijawab atau juga hanya mereka bisa merasakan hingga apa yang
mereka rasakan itu sulit untuk dideskripsikan. Entahlah, mana yang benar. Saya
tidak mau pusing dengan itu.
Toh, akhirnya
saya mendapatkan sebuah jawaban yang matang. Dari sekian teman-teman yang sudah
saya tanyakan. Justru saya dapatkan jawaban dari seorang teman yaitu bos saya
yang telah menikah dan memiliki dua orang putra dan seorang lagi dari teman
perempuan yang sedang merencanakan menikah akhir tahun ini. Semoga setelah
pasangannya pulang dari tugas liputan khususnya, rencana mereka diberikan
kemudahan oleh Allah SWT hingga ijab kabul dan hingga maut memisahkan mereka.
Saya berdoa bagi kedua teman saya, semoga Allah menjadikan mereka sebagai
pasangan seperti Adam dan Hawa, dan terus berpasangan hingga di akhirat nanti.
Amin Ya Rabb.
Akhirnya, saya
berdoa. Semoga saya dan pasangan diberi kemudahan dan pencerahan dan
penyelesaian yang baik dengan apa yang sedang kami hadapi saat ini. Belum
sampai garis akhir. Hanya Allah yang tahu, insyallah jika Allah menghendaki
kami berjodoh seperti Adam dan Hawa, saling melengkapi, saling memahami dan
mengerti dan saling mengasihi dan terus berpasangan hingga di akhirat nanti.
Insyallah, Allah akan memberi kami ke arah-Nya, Amin Ya Rabb.
Bismillahirrohmanirohim.
-Sepertiga
malam, 03 Maret 2013, Bekasi-
No comments:
Post a Comment