Thursday 31 March 2011

this is how i start today..

i woke up around seven in the morning, or if i get lucky or not too tired because of last night working late, i’ll be awake around six in the morning. then i snooze my alarm into five to ten minutes. get up, and shower.

everything seem in a hurry. shower done, contacts done, make up done, hair do done all stuff are packed to go to the office. if i get an extra time, i’ll burn my first cigarette in the morning, inhale and exhale, very relaxing.

nothing much or less differences in each day, everyday are the same. this is how i got stuck on routines.

“suck it up pet”…

nothing you can do about it…

yang tidak terbendung curahan tengah malam

ME.NI.KAH

01.00, dini hari

31 januari 2011

baru saja dapat email dari salah satu sahabat saya yang tinggal di bandung. rencananya akan saya baca besok pagi, tapi rasa penasaran dan ingin tahu saya cukup tinggi, dengan masalah yang saat ini sedang dia hadapi.

singkat cerita, sahabat saya berencana untuk lamaran tahun ini dengan pacarnya yang saat ini berdomisili di balikpapan. karena pekerjaan pacarnya dinas disana. hubungan mereka sudah cukup lama, seingat saya sudah hampir menginjak tiga tahun (kalau tidak salah). akhirnya mereka memutuskan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, menikah.

dalam email, kabar terakhir, komunikasi mereka tentang rencana pernikahan cukup lancar dan mereka sepakat bulan april akan melangsungkan lamaran dan bulan mei tahun depan akan melangsungkan pernikahan.

Kabar mengagetkan datang dari calon ibu mertua. Hubungan sahabat saya dengan calon ibu mertuanya cukup baik, tapi entah kenapa, tiba-tiba sang calon ibu mertua, melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar oleh sahabat saya. Menurut saya, sangat tidak pantas, kata-kata seperti itu keluar dari mulut seorang ibu. Apa dia tidak berpikir, kalau seandainya posisinya terbalik.

Tingkat pendidikan seseorang tidak menjadi tolak ukur kesopanan bagi seorang individu. Bagi saya, tingkat pendidikan tidak cukup akurat untuk dapat mengukur kesopanan dalam berprilaku dan bertutur kata dari seseorang. Status sosial inilah yang membuat segalanya berantakan, ditambah lagi dengan latar belakang keluarga.

Memang apa salahnya kalau orang tua kita sudah berstatus janda atau duda????? Janda bercerai?? Duda bercerai???. Apa letak masalahnya??? Apakah kita, sebagai anak juga ikut berstatus “janda atau duda” ??. lantas apa kita menjadi anak yang hina yang lahir dari orang tua yang berstatus “janda atau duda”.

Orang itu pada dasarnya sok tahu!!!!!!!. Belum bertanya, sejarah di balik cerita status “janda atau duda”. Apa iya keluarga yang utuh, menjanjikan produksi anak-anak yang berkualitas????.

Jujur saja, saya marah, saya emosi. Sopan sekali seorang calon ibu mertua bicara dengan kata-kata yang tidak pantas keluar dari mulutnya ke calon menantunya. Dia memang bukan seorang anak yang lahir dari rahimnya, tapi apakah pantas dia mendapat perlakuan seperti itu?? apa karena dia lahir dari seorang ibu yang berstatus janda?? Apa pantas dia diperlakukan seperti itu??. Otaknya dimana sih??.

“klo kamu sudah nikah, kamu harus kerja, biar bisa kasih uang ke ibu kamu. jadi uang mas ngga kamu ganggu”

GILA!!!!!!.....seandainya kata-kata itu keluar dari mulut calon ibu mertua saya, lebih baik saya mundur jadi calon menantunya. Bisa-bisa sampai akhir hayat saya, tidak akan pernah akur. Daripada menambah dosa saya, lebih baik saya mundur. Silahkan ibu, cari calon menantu yang pantas bagi putra ibu.

Sekali lagi, karena cinta dan kasih sayang, mampu mengalahkan kata-kata dan sikap itu. DAMN!!!!! Dunia tidak adil, Ya Tuhan, apa maksud di balik itu semua???.

Apakah sebuah pernikahan yang Engkau katakan dalam kitab suci adalah sebagian dari ibadah itu malah menjadi masalah baru, yang mampu menimbulkan penyakit hati dari mertua ke menantu??. Katanya dapat menjalin dan menyatukan silahturahmi, tapi kenapa yang ada seperti itu??

Iman seorang memang terus diuji sampai akhir hayat, tapi sungguh, ketika saya membaca email sahabat saya. Kejadian itu bagaikan saya yang mengalaminya, betapa sakit hati saya membaca kejadian yang sahabat saya alami.

Jadi teringat setahun yang lalu. Seandainya saja, saya masih berhubungan dengan pacar saya yang sudah tujuh tahun lamanya saya berhubungan. Mungkin saja, ketika saya dan dia berencana akan melangkah ke jenjang yang lebih serius, saya akan mengalami hal yang sama. Astagfirullah. Bersyukur saya telah mengakhiri hubungan, kalau tidak, saya tidak tahu bagaimana sakit hatinya saya.

Manusia suka lupa, siapa dia!. Dia bukan Tuhan, yang bisa mengkategorikan orang seenak jidatnya. Menentukan siapa yang pantas atau tidak untuk bersanding dengan hasil keturunannya.

Insyallah, orang tua saya, dan orang tua sahabat saya tidak seperti itu. Insyallah selalu diberikan keimanan yang lebih baik, dan mampu bersopan santun dalam bersikap dan bertutur kata.

Jujur saja, saya juga semakin takut membayangkan proses menuju jenjang pernikahan. Kenapa hal yang seharusnya mudah, -dalam artian akan selalu ada jalan keluarnya- selalu dibuat rumit?. Saya tidak mampu membayangi ketika berada di posisi dalam proses menuju pernikahan saya nanti. Insyallah, diberi umur panjang dan dimudahkan proses menuju pernikahan saya nanti. Baik dari orang tua saya dan calon mertua saya nanti (yang entah siapa itu), mudah-mudahan calon suami saya, mempunyai sikap dan berani dalam mengambil keputusan, teguh dalam pendiriannya, mampu membimbing dalam ajaran agama dan dapat bekerja sama dengan baik sehingga mampu membangun rumah tangga yang baik, dunia akhirat.