Friday, 10 April 2015

Salah.

A: Lalu, apa dan siapa yang mau disalahkan jika sekarang kamu jadi menaruh rasa sama dia?
B: Memangnya aku memberi tanggapan harus ada yang disalahkan?

A: Kamu terlihat cemburu.

B: Lalu, salah jika aku cemburu?

A: Tidak. Tidak salah. Tetapi, kamu salah dalam menyikapi sikapnya ketika dia datang dan memberi      tahu kamu soal perasaannya.

B: Ah! Kamu ini sok tahu. Aku hanya berusaha menyampaikan apa yang aku rasa dan ada di kepala.        untuk apa aku simpan dan lalu aku cerita kepada orang lain, contohnya ke kamu. Apa fungsinya?        Tidak akan merubah keadaan.

A: Memang tidak merubah keadaan, tetapi ada baiknya sebelum kamu mengambil sebuah keputusan        dalam mengambil sikap, pikirkan lebih matang lagi dan jangan terlalu galak lah jadi perempuan.        Tanpa kamu sadari, kamu kembali menjadi pribadi yang sombong.

B: Maksud kamu?

A: Aku tidak perlu menjabarkan. Kamu sudah tahu kok dimana letak kesombongan kamu.

B: Jadi, kamu menyalahkan aku?

A: Sekali lagi, aku tidak menyalahkan kamu. Gini ya, jika kamu tidak sombong dan tidak tergesa-            gesa dalam menyikapi, kamu tidak akan menaruh rasa sama dia. Kamu tidak akan mulai                      memikirkan dia hanya karena seharian ini belum berkomunikasi.

B: Ya, perasaan orang mana tahu sih.

A: Memang tidak ada yang tahu. Bahkan aku sendiri juga tidak tahu entah kamu marah atau tidak            sama aku sekarang karena ucapanku ini.

B: Aku tidak mengerti dengan keadaanku sekarang. Mungkin saja benar aku menaruh rasa sama dia, 
     karena apanya, aku sendiri masih mencari. Aku juga tidak mau jika perasaan ini hanya karena aku      merasa sepi dan mulai menaruh curiga sepertinya dia sedang mulai mendekati orang lain.

A: Tuh kan! Kamu sendiri akhirnya bicara. Sudahlah, kamu sudah tahu apa jawabannya. Asumsi              yang ada di kepala biarkan saja jangan diberi ruang karena percuma emosi dan energi mu akan            habis tanpa makna.

B: Sederhana sih, aku pikir dia memang serius tetapi dia tampaknya orang yang tidak mau ambil              pusing. Tapi, sialan juga! Kalau saja aku bisa lihat keseriusan dia, mungkin aku akan                            mempertimbangkan atau kalau memang dia benar suka, dia tidak mungkin mengalah begitu saja.   
     Sial! Mungkin karena aku pernah menyatakan ketertarikan tetapi aku takut. Sehingga dari situ dia      sudah merasa menang. Aku kesal dibuatnya.

A:Sudahlah tidak perlu kamu pusingkan. Jika dia memang benar suka dia akan datang lagi ke kamu,       jika tidak, ya kamu tidak rugi apa-apa. 

B: Iya, memang tidak rugi apa-apa, tetapi aku nyaman cerita sama dia.

A: Ya sudahlah. Kalau memang waktunya kalian bersama, kalian akan bersama kok. Toh, kamu juga      masih punya ketakutan dan kamu sendiri belum mau membuka diri.

B: Aku cuma ga suka dia mulai membaca diri aku dan mulai mendiktenya di depan mukaku. Bukan        berarti aku mulai membuka diri dia bisa dengan mudah mendikte setelah menilai diriku. Aku              benci mengetahui tambah satu orang lagi yang mengetahui keburukkan aku dan hanya akan dilihat      keburukkan aku saja. Aku benci. 

A: Sudahlah. Percuma kamu simpan rasa benci tidak akan mengubah penilaian dia terhadap kamu.          Biarkan saja dia. 

B: Tapi, terbesit rindu komunikasi dengan dia.

A: Kirimkan saja rindu itu melalui angin.

B: Iya.

A: Mau pulang dan istirahat?

B: Lagi, aku salah lagi.

A: Sudahlah, kesalahan kamu adalah pengalamanmu menuju yang memang untukmu. Jika kamu              tidak melakukan kesalahan, kamu akan kembali sombong. Dengan kesalahan kamu kembali                diingatkan oleh Sang Pencipta. Maka, bersyukurlah dengan itu.

B: Iya. aku mau pulang dan istirahat. Mobil kamu parkir dimana?

A: Di samping mobil kamu. Yuk?!

B: Yuk.

Wednesday, 8 April 2015

Malam.

Pukul 01.37


Malam. Bagi saya selalu menjadi sebuah waktu istimewa. Selain karena malam adalah waktu untuk pulang setelah beraktifitas di kantor, malam juga adalah waktu untuk saya menerawang jauh, entah ke masa kini, masa depan ataupun ke masa lalu. 

Ada kalanya malam bagi saya menjadi waktu yang begitu istimewa, rasanya tak ingin pagi segera datang, ingin setiap detik malam melambat saja. Tetapi, ada kalanya malam menjadi waktu yang mengkhawatirkan, saya menjadi takut, sedih, ingin menangis tak berhenti. 

Saya merindukan waktu malam ketika saya merasakan tenang, kesunyian dan hampa, merasa dekat dengan Sang Pencipta, hubungan intim di kala saya bersujud dan mengakui sambil terbayang hal dan ucapan apa saja yang telah saya lakukan hingga mungkin menyakiti ataupun menyinggung orang.

Namun, kali ini malam bagi saya menjadi waktu yang tak tentu arah. Semua perasaan campur aduk seperti kabut yang kalut hingga menutupi jarak pandang. Di detik ini saya merasa tenang, namun di detik kemudian saya merasa marah, lalu di detik berikutnya saya merasa sedih, dan kunci pasti untuk ini adalah tenang. 

Ketenangan, saat ini bagi saya seperti berada di perahu terombang ambing di laut ketakutan, angin menghajar dari kiri dan kanan, gemuruh petir dan awan hitam pekat, sambil berdoa semoga esok matahari menyingkapkan sinarnya, merobek awan-awan hitam hingga sinar matahari menembus masuk, beri harapan bahwa esok sinar matahari akan menjadi penjaga dan berikan ketenangan. 

Malam, kini bagi saya menjadi waktu terlemah. Ya, titik terlemah dalam waktu saya. Ketika beberapa menit lalu mencoba untuk menutup mata, setelah, sebelumnya mencoba mengundang kantuk dengan membaca, saya putuskan menutup buku itu langsung. Lalu, bayangan dan pikiran akan perubahan yang akan terjadi di bulan depan membuat saya jadi ciut. Bagaikan anak kecil yang mencari perlindungan pada Ibu karena suara petir yang menggelegar. Saya rindu bermanja dengan Ibu, atau mungkin saya lupa apa pernah saya bermanja-manja dengan Ibu. Di umur saya yang hampir akan berkepala tiga, dalam waktu dua tahun, saya justru ingin sekali bermanja-manja dengan Ibu. Terlebih di waktu malam. 

Kemudian, ada keinginan ingin menghabiskan waktu bersama Ayah. Sayangnya, hanyalah sebuah khayalan, namun tak salah bukan jika berkhayal? Yang menjadi soal adalah bagaimana mewujudkannya? Dan, bagaimana jika tidak terwujud? Lalu, bagaimana saya akan menyikapinya? Sedih? Sudah pasti! Tetapi, perlukah disesali karena telah mencoba? Tidak. 

Beberapa waktu belakangan ini, malam saya menjadi pilu. Amarah yang membuncah karena emosi. Sepele, karena komunikasi yang tidak tepat dan karena saya sudah antipati. Sungguh sedih melihat kondisi ini, saya ingin berkomunikasi dengan baik tapi nyali saya belum terkumpul rapih dan saya cenderung sensitif sehingga akan mudah sekali menangis. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa saya adalah pribadi perasa. Terutama jika menyangkut hal-hal tentang keluarga, cinta dan rasa. Namun, soal cinta, saya kesampingkan saja, saat ini, karena cenderung skeptis. 

Konsentrasi saya terpusat pada keluarga. Malam menjadi perih, saya ingin berada di tengah kasur mereka. Ingin menciutkan kembali badan saya dan merengek manja pada mereka. Inginnya begitu. Pilu rasanya tahu akan realita yang ada. Ah, saya memang melankolis  jika menyangkut mereka. Meski ada rasa kecewa terhadap mereka, tapi saya sayang bahkan cinta. 

Mengingat kembali di hari itu. Di saat mereka menjemput saya di bandara setelah kepulangan saya dari Bali, hasil kabur dari masalah patah hati, saya merasa tak ada yang tulus menyayangi. Namun, malam itu (ya, malam hari) mereka jauh-jauh dengan tulus sengaja menjemput ke bandara karena tahu selepas malam bis Damri akan lama di dapat untuk jurusan Bekasi. Mereka baru saja pulang dari kantor, dari kejauhan keduanya terlihat sudah berumur, meski masih terlihat gagah dan elegan dengan pakaian kantornya. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe, dari kejauhan saya melihat mereka saling diam, langsung jelas teringat realita hubungan mereka bagaimana, tapi saya tepis realita itu karena bukan itu yang menjadi fokus saya tetapi bahwa terlalu bodoh bagi saya berpikir bahwa tak ada orang yang akan dan mau mengasihi saya dengan tulus, tanpa harus menuntut ini dan itu. 

Mereka adalah bukti nyata yang mengasihi saya dengan tulus, menerima saya dengan baik dan buruk meskipun (tetap) ada tuntungan ini dan itu. Terlepas dari itu, kasih mereka tanpa pamrih, tanpa saya minta mereka akan beri lebih. Jika saja, kami terbuka, mungkin malam itu saya ingin memeluk mereka erat dan tanpa sadar air mata pun jatuh di pipi. Nyatanya tidak begitu, saya mencium kedua tangan mereka, dan dalam hati saya menangis sambil mengucap terima kasih. 

Karena malam itu, saya pun menjadi tenang. Bahwa seberapa pesimisnya saya merasa tak akan ada orang yang mau menerima dan mengasihi saya tanpa tuntuntan, saya akan selalu ingat bahwa akan selalu ada mereka yang kasihnya akan terus mengalir tanpa henti untuk saya. Baik saya minta ataupun tidak. Haruskah saya meminta? Tidak. 

Ketakutan malam cenderung mengarah kepada kekecewaan. Takut buat mereka kecewa. Ya, lagi-lagi karena saya perasa dan pemikir. Pemikir kepada hal-hal yang sebenarnya tak perlu dipikirkan sekarang karena justru saya akan lupa menikmati masa sekarang. 

Malam ini, tetiba datang perasaan sayang, sedih dan juga rindu secara bersamaan. Terlebih kepada rasa rindu, rindu mereka, rindu menjadi anak kecil sehingga bisa bermanja nakal sekaligus menjaili mereka, membuat mereka tertawa dan geleng kepala karena tingkah konyol saya bukan karena tingkah saya yang belakangan ini mungkin bikin mereka sakit kepala dan (mungkin) kecewa. Sungguh dalam hati tak ingin saya buat mereka kecewa, saya ingin selalu buat mereka bangga. 




Takut.

Sudah lama rasanya saya tidak merasakan sebuah kenikmatan menulis. Entah apa yang ada di pikiran saat ini. Sejujurnya, isi kepala bagaikan benang kusut atau kertas robek yang sudah carut marut dan bertebaran di lantai. Ingin semua diurai secara pelan-pelan.

Ada yang mengatakan menulis adalah sebuah cara atau meditasi terbaik untuk meluapkan emosi dan pikiran karena kekhawatiran akan anggapan orang lain tentang apa yang sedang kita hadapi. Seiring waktu, setiap individu ingin berbagi tanpa ingin dihakimi atau didikte atau dikomentari. Intinya, setiap individu ingin didengar, namun semakin kompleks kehidupan, terutama hidup di ibukota, semakin sulit untuk mencari telinga-telinga yang rela untuk mendengarkan.

Semenjak kepulangan saya dari menuntut ilmu di Inggris, ketakutan saya hanya satu, yaitu bahwa saya akan kembali kepada pola lama, baik dari internal dan eksternal. Sebulan pertama, saya merasa percaya diri dan langkah yang sedang dijalani terasa pasti meskipun tahu bahwa ekspektasi akan sebuah perubahan signifikan akan minim terjadi. Tuntutan hidup di kota besar selain dari pemasukan bulanan menjadi poin yang digaris bawahi semenjak kepulangan, tuntutan umur dan sosial pun mulai satu per satu ikut di belakangnya.

Saya merasa kala hidup di Inggris selama empat belas bulan memberikan saya banyak arti, nilai dan pemahaman akan hidup itu sendiri. Ketika saya yakin akan sebuah pemikiran dari hasil pengalaman maupun kontemplasi di kesendirian malam. Akhirnya, saya menemukan satu lagi jawaban akan pribadi saya, yaitu takut.

Sebelum keberangkatan, saya pun mengalami sebuah titik balik yang akhirnya membuat saya menyadari bahwa sombong adalah salah satu sifat saya, mengetahui, membuka, menyadari hingga mengakui pada diri sendiri membutuhkan waktu kurang lebih 20 tahun ketika saya mulai memahami dan terjun langsung ke dalam kehidupan. Kehidupan itu saya namai "kehidupan orang dewasa". Ya, saya ini pribadi yang sombong, tak perlu lah saya jabarkan apa, kata "sombong" sudah mampu mewakili.

Ya, saya adalah seorang penakut sekaligus sensitif sekaligus terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang diri saya. Orang mungkin akan menilai, sudah jauh dan berani pergi ke negeri barat, menuntut ilmu tetapi masih saja takut. Apa salahnya memiliki rasa takut?

Saya muak dengan pandangan orang lain, penilaian terhadap diri saya hingga membuat saya kehilangan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa saya mampu. Belum lama ini, saya baru kembali dari Aceh. Pergi ke desa pedalaman dalam rangka tugas peliputan, di dalam desa yang terletak di lembah pegunungan, sunyi, sepi, gelap bahkan sinyal telepon genggam pun tak ada, saya justru merasakan sebuah rehat yang nyaman dari dunia digital.

Duduk dan merokok di depan rumah Bapak kepala desa bersama tim yang sedang melepas lelah setelah seharian beraktifitas. Kami duduk tertawa, berbicara dengan topik yang berubah-ubah, mulai dari batu akik, agama, politik, hingga lagu dangdut. Ada kenyamanan yang sepertinya lama dirindukan jika mengingat kehidupan di kota besar. Sederhana saja, duduk, berbicara tanpa ada gangguan keinginan untuk melihat telepon genggam meskipun pada malam itu pikiran saya banyak menerawang ke dalam hidup saya sendiri. Malam itu saya memasang topeng, raga saya bersama mereka tapi tidak dengan jiwa saya yang mulai terbang dari satu titik ke titik lain, berusaha memikirkan jauh ke dalam diri, apa yang sebenarnya sedang terjadi pada hidup saya saat ini.