Wednesday, 8 April 2015

Takut.

Sudah lama rasanya saya tidak merasakan sebuah kenikmatan menulis. Entah apa yang ada di pikiran saat ini. Sejujurnya, isi kepala bagaikan benang kusut atau kertas robek yang sudah carut marut dan bertebaran di lantai. Ingin semua diurai secara pelan-pelan.

Ada yang mengatakan menulis adalah sebuah cara atau meditasi terbaik untuk meluapkan emosi dan pikiran karena kekhawatiran akan anggapan orang lain tentang apa yang sedang kita hadapi. Seiring waktu, setiap individu ingin berbagi tanpa ingin dihakimi atau didikte atau dikomentari. Intinya, setiap individu ingin didengar, namun semakin kompleks kehidupan, terutama hidup di ibukota, semakin sulit untuk mencari telinga-telinga yang rela untuk mendengarkan.

Semenjak kepulangan saya dari menuntut ilmu di Inggris, ketakutan saya hanya satu, yaitu bahwa saya akan kembali kepada pola lama, baik dari internal dan eksternal. Sebulan pertama, saya merasa percaya diri dan langkah yang sedang dijalani terasa pasti meskipun tahu bahwa ekspektasi akan sebuah perubahan signifikan akan minim terjadi. Tuntutan hidup di kota besar selain dari pemasukan bulanan menjadi poin yang digaris bawahi semenjak kepulangan, tuntutan umur dan sosial pun mulai satu per satu ikut di belakangnya.

Saya merasa kala hidup di Inggris selama empat belas bulan memberikan saya banyak arti, nilai dan pemahaman akan hidup itu sendiri. Ketika saya yakin akan sebuah pemikiran dari hasil pengalaman maupun kontemplasi di kesendirian malam. Akhirnya, saya menemukan satu lagi jawaban akan pribadi saya, yaitu takut.

Sebelum keberangkatan, saya pun mengalami sebuah titik balik yang akhirnya membuat saya menyadari bahwa sombong adalah salah satu sifat saya, mengetahui, membuka, menyadari hingga mengakui pada diri sendiri membutuhkan waktu kurang lebih 20 tahun ketika saya mulai memahami dan terjun langsung ke dalam kehidupan. Kehidupan itu saya namai "kehidupan orang dewasa". Ya, saya ini pribadi yang sombong, tak perlu lah saya jabarkan apa, kata "sombong" sudah mampu mewakili.

Ya, saya adalah seorang penakut sekaligus sensitif sekaligus terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang diri saya. Orang mungkin akan menilai, sudah jauh dan berani pergi ke negeri barat, menuntut ilmu tetapi masih saja takut. Apa salahnya memiliki rasa takut?

Saya muak dengan pandangan orang lain, penilaian terhadap diri saya hingga membuat saya kehilangan kepercayaan diri dan keyakinan bahwa saya mampu. Belum lama ini, saya baru kembali dari Aceh. Pergi ke desa pedalaman dalam rangka tugas peliputan, di dalam desa yang terletak di lembah pegunungan, sunyi, sepi, gelap bahkan sinyal telepon genggam pun tak ada, saya justru merasakan sebuah rehat yang nyaman dari dunia digital.

Duduk dan merokok di depan rumah Bapak kepala desa bersama tim yang sedang melepas lelah setelah seharian beraktifitas. Kami duduk tertawa, berbicara dengan topik yang berubah-ubah, mulai dari batu akik, agama, politik, hingga lagu dangdut. Ada kenyamanan yang sepertinya lama dirindukan jika mengingat kehidupan di kota besar. Sederhana saja, duduk, berbicara tanpa ada gangguan keinginan untuk melihat telepon genggam meskipun pada malam itu pikiran saya banyak menerawang ke dalam hidup saya sendiri. Malam itu saya memasang topeng, raga saya bersama mereka tapi tidak dengan jiwa saya yang mulai terbang dari satu titik ke titik lain, berusaha memikirkan jauh ke dalam diri, apa yang sebenarnya sedang terjadi pada hidup saya saat ini.






No comments: