Wednesday 6 March 2013

Egoiskah?

Rasanya saya sudah lupa untuk tahu caranya berpikir secara jernih. Selain itu juga, saya juga sudah tidak tahu caranya menahan untuk tidak bersuara.

(Mungkin) sikap saya salah dengan mencoba bercerita untuk mencari perspektif lain. Tujuan sebenarnya untuk mencari sebuah solusi atau pemikiran objektif yang sekiranya mampu untuk membantu melerai benang kusut, tapi nyatanya saya salah. Entahlah, mungkin saya berada di titik jenuh.

Saya mencoba mencari dengan berpikir pelan-pelan. Apa yang sebenarnya membuat saya jenuh dalam beberapa bulan terakhir. Mungkinkah karena situasional yang terjadi dalam tim kerja? Intrik personal dalam sebuah tim? Sistem kerja yang tersangkut dan adanya pengaruh asumtif dari tiap personal dalam tim? Atau karena memang apa yang ditugaskan bukan minat saya?

Egoiskah jika saya berpikir demikian?. Meminta dan memohon untuk dipindah tugaskan?. Lalu, jika saya memang menetap di sini, saya tidak lagi memiliki hasrat untuk menjalani. Akankah nanti, saya menjalani hari-hari sebatas rutinitas belaka? Dan apakah saya akan menjadi robot tanpa ada hati dan tendensi untuk mengaktualisasikan diri dalam sebuah kegiatan sehari-hari?.

Tidak. Mereka tidak tahu jika saya sedang berperang dalam diri sendiri, dan sebenarnya mereka tidak perlu tahu itu. Saya berperang melawan semua emosi, sekaligus meredam sebuah idealisme yang ada pada diri. Tetapi, haruskah saya meredam itu? Dan menurunkan standar saya?. Salahkah saya jika mempunyai standar dan sebuah kualitas yang harus dicapai?.

Awal terjun ke dalam bidang ini saya dituntut untuk berusaha keras dan semaksimal mungkin. Sikap itu terbawa hingga kini. Tapi entah mengapa dalam posisi saya sekarang, sebuah usaha keras itu bukannya tidak dihargai tapi cenderung malah dianggap berlebihan. Seolah yang biasa sudah lebih dari cukup.

Saya masih muda. Gairah saya masih tinggi, dan saya tetap ingin menyimpan hingga tua nanti.

Tak tahulah saya. Mungkin saya memang sok pintar, sok tahu. Apalah arti saya. Hanya anak bawang yang baru terjun ke dunia ini kemarin. Saya memilih diam dan berusaha menutupi itu semua. Biar mereka puas dan tenang.


-Parkiran motor gedung palmerah selatan, 6 Maret 2013-

Monday 4 March 2013

Bertanya ???


Dengan banyak membaca, melihat, kemudian memahami sekaligus mengerti. Bahwa di Indonesia begitu lekat dengan sistem patriarki. Banyak yang menjunjung nilai ini. Saya tidak begitu paham apakah patriarki ini sebuah nilai, sistem atau budaya.

Ok. Ini mungkin tidak ada hubungannya, tapi entah saya ingin mengungkapkannya.

Belum lama ini dua orang teman saya menyatakan sesuatu. Yang satu seorang laki-laki dan satu lagi seorang perempuan. Ok, ini berarti seimbang. Maksudnya pemikiran dari dua belah pihak. Jadi, di suatu sore ketika sedang bersantai di kantin kantor. Seorang teman laki-laki yang adalah bos saya di kantor, datang dan duduk di samping saya. Tiba-tiba tanpa ada petunjuk atau apapun, dia bertanya mengenai hubungan saya. Dan kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah menelanjangi saya di depan umum. Seolah dia mengerti apa yang sedang dihadapi saya dan pasangan. 

Akhirnya saya tidak bisa berkata apa-apa. Saya takjub sekaligus malu dan bingung harus membalas apa. Sungguh bingung luar biasa. Sepertinya jika saya berhasil membalas semua kata-katanya, kalimat saya nanti akan terdengar sebagai perlawanan dari semua yang disampaikan. Tapi saya memiliki pemikiran bahwa saya juga bisa benar. Sifat perlawanan saya mengatakan, mengapa seolah saya yang terpojokkan. 

Saya tetap bersikeras untuk tidak membuka hal pribadi. Saya masih bertanya-tanya apa dia serius atau sekedar bercanda saja menyampaikan pendapat dan penilaiannya terhadap hubungan saya. Kalau perlawanan saya mengatakan, apa hak dia menilai. Tapi toh, akhirnya saya berpikir dia bebas untuk menilai dan memberi pendapat, hak dia kok. Untung saja dia tidak menghakimi. Adzan maghrib berkumandang, dia mengatakan akan pergi ke atas, ke ruangannya untuk sholat maghrib. Dia menunggu saya di lantai tiga, di mejanya. Ada yang ingin dia tunjukkan kepada saya. Sebuah tulisan yang ditulis oleh istrinya, katanya tulisan inilah yang membuat dia merasa tidak salah memilih pasangan hidup. Istrinya membuat dia nyaman. Istrinya membuat sebuah rumah yang ketika dia pulang darimanapun dia pergi, dia merasa pulang ke rumah.

Saya pun beranjak dari kursi kantin kantor. Pergi ke lantai tiga bersama salah satu teman dekat saya. Saya mendatangi mejanya. Dia membuka laptopnya. Mencari-cari tulisan istrinya yang sempat dia publikasikan di facebook. Tapi dia cari tidak ketemu, akhirnya dia buka blognya. Ketemulah tulisan istrinya itu. Saya diminta duduk dan membacanya sembari dia pamit untuk mengambil wudhu dan pergi sholat.

Saya duduk tenang dan membaca tulisan istrinya perlahan. Saya tidak ingat persis kata per katanya tapi kurang lebih seperti ini isinya.

“dia pergi lagi, untuk kesekian kalinya. Dia seorang alang, anak petualang. Tapi saya sudah biasa, dan saya ikhlas. Ketika saya mengucap janji akan mendampingi dia. Saya ikhlas. Dia bukan milik saya. Dia milik teman-temannya, milik anak-anaknya, dia milik semua orang. Saya ikhlas, bagi saya tidak mengapa. Selama dia pulang, dan dia tahu kemana rumahnya berada. And when he’s home, he’s home. Should I ask more??”

Kurang lebih begitulah isi dari paragraft tulisan istrinya. Manis, indah dan romantis. Di akhir tulisan ada sebuah paragraph yang ditulis oleh bos saya. Dia menulis kira-kira begini.

 "terima kasih ya Allah, bahwa Engkau telah memilih dia (disebut namanya) sebagai pendamping hidupku. Engkau memberikan seorang pendamping yang mengerti dan memahami diriku sekaligus membuat rumah bagiku".

Wow, romantis ya?. Sungguh, saya turut berbahagia sekaligus sedih. Indahnya jika saya juga bisa membuat seseorang merasa seperti itu, begitu juga sebaliknya.

Subhanallah. Bahwa cinta yang Engkau hadirkan diantara kedua manusia itu sungguh indah, romantis tetapi juga terkadang sulit dimengerti dan sulit pula dijelaskan dengan kata-kata.

Saya berpikir. Baiknya dan bijaksananya jika saya sudah mampu berpikir dan bersikap seperti istrinya. Apabila saya sudah berada di tahap itu, insyallah saya sudah siap untuk menikah dan membangun sebuah rumah tangga. Namun, sisi lain dari sisi saya berpikir dan bertanya. Betapa egoisnya seorang laki-laki. Kenapa?. Dia dimengerti oleh seorang perempuan yang telah menjadi istrinya. Dia tahu bahwa istrinya memang tidak bergantung kepadanya, dia tahu istrinya mampu dan istrinya memahami betul bahwa dia tidak akan bisa mengubah dan menuntut banyak perubahan dari suaminya. Berarti jika begitu, istrinya yang mengalah. 

Pihak perempuan yang mengalah. Mengalah untuk menghilangkan sebagian jati dirinya. Bagaimana jika kondisinya terbalik. Begini, bagaimana jika istrinya adalah seorang petualang, dalam arti istrinya senang berkelana ke alam. Bisakah dia memahami istrinya, sebagaimana istrinya memahami dia?. Saya belum tahu jawabannya.

Pikiran saya semakin melebar. Jika seorang laki-laki dan perempuan memutuskan untuk menikah. Mereka secara sadar tahu akan perubahan yang terjadi dalam hidup mereka nanti. Bahwa ketika mengambil suatu keputusan sudah tidak bisa memikirkan dengan satu kepala lagi, tapi dengan dua kepala, dan entah kenapa, ketika dua orang menikah, jati diri masing-masing individu harus bisa berkompromi dengan pernikahan, kalau tidak akan terus saja berbenturan, bukan begitu? atau akhirnya banyak yang mengalah menjadi seseorang yang bukan dirinya setelah menikah kalau tidak kuat-kuat iman, mungkin berpisah adalah solusinya.

Saya tahu, bahwa jika mengungkapkan ini. Orang akan berkata “makanya kalau belum benar-benar siap jangan menikah”. Mungkin contoh kasus istri bos saya ini adalah sebuah kompromi dalam sebuah pernikahan. Menurut saya, itu sebuah kompromi yang logis dan dewasa (ok, saya bingung memilih kata yang tepat untuk mewakili sikap dari kompromi tersebut). 

Meski begitu sisi pikiran sinis saya mengatakan itu tidak adil. Tapi apa hak saya menghakimi?. Itu adalah sebuah pilihan, dan setiap orang bebas untuk memilih bukan?. Saya bisa saja mengatakan itu tidak adil, dia tidak bahagia, karena perhatian yang seharusnya bisa dia dapatkan lebih nyatanya dia harus berbagi. Ketika suaminya, seharusnya menjadi miliki dia sepenuhnya, dia harus berbagi. Lalu bagaimana jika suaminya mengkhianati dia?, dengan kompromi dan sikap mengalah yang dia pilih. 

Saya bisa saja mempertanyakan banyak hal, tapi saya memilih untuk meredam itu. Karena sisi pikiran lain saya timbul, yaitu kalau dia bahagia seperti itu bagaimana? Meski saya melihatnya dia kekurangan ini itu tetapi dia bahagia, saya mau bilang apa. Masihkah saya terus mempertanyakan keputusan istrinya. Istrinya bahagia, titik.

Poin yang saya ambil dari sikap istrinya adalah, dia menyadari betul bahwa dia memang memiliki dan bisa mendapatkan lebih dari suaminya, tetapi dia juga memahami dan mengerti bahwa dia harus berbagi, karena dengan berbagi hidup akan terasa lebih baik, indah, dan harmonis. Meski porsi yang dia dapatkan tidak begitu banyak dari suaminya, dia begitu mensyukuri setiap hal kecil yang dia dapat dari hidupnya.

Tidakkah sikap seperti itu luar biasa dan mulia?. Tidakkah hidup terasa lebih ringan jika kita mampu bersikap seperti itu?. Tidakkah bahagia melihat pasangan yang disatukan karena cinta dan kasih oleh Tuhan itu begitu luar biasa, hingga kata-kata sulit untuk mewakili perasaan itu?. Bukankan agama-agama di dunia mengajarkan kita untuk saling berbagi?.


Pandangan sinis saya memang tidak hilang, tetapi perasaan terharu saya cenderung besar. Saya tidak akan menghakimi, tidak juga menilai. Saya hanya berusaha memahami dan berdoa, semoga di kemudian hari atau esok hari saya bangun pagi, bisa mulai perlahan menentukan sikap dan bisa menjadi salah satu perempuan yang mampu bersikap dan berpikir seperti itu.

(Mungkin) memang sudah sifat dasar laki-laki bahwa mereka berjiwa bebas. Bagaimana dengan perempuan?. Manusia pada dasarnya berjiwa bebas tanpa memandang laki-laki atau perempuan.

Cerita lain datang dari teman perempuan saya di kantor juga. Belum lama ini pasangannya sedang bertugas liputan khusus 100 hari keliling Indonesia. Tugas yang diemban membutuhkan waktu selama kurang empat hingga lima bulan.

Saya berkesempatan tukar cerita melalui media whatsapp. Secara acak kami akhirnya bertukar cerita, soal hubungan dan pernikahan. Cerita mengalir begitu lancar, seolah dia juga bisa melihat kegelisahan dan kesedihan saya. Dia mengatakan bahwa saya memang terlihat sedih, butuh untuk didengar. Sebegitu transparannya kah saya?. Padahal saya berusaha betul untuk tidak mengeluarkan ekspresi saya, berusaha betul menyembunyikan masalah pribadi saya.

Sejak pengalaman siaran radio dulu di Bandung. Saya memahami, mengerti dan akhirnya menjadi prinsip bahwa ketika keluar rumah dan sampai di tempat kerja, masalah pribadi menjadi urusan nomor dua. Sudah berusaha pun saya masih terlihat kalut. Wow, mungkin saya terlahir tidak pandai bermain mimik muka ya.




Lalu, teruslah saling bertukar cerita, panjang dan lebar. Suatu keanehan, kami berdua di kantor hanya bertegur sapa, jarang sekali bercerita soal pribadi. Tetapi karena satu hal dan dalam satu malam. Duar!. Semua keluar, curahan hati colongan. Tiba-tiba dia menyatakan sesuatu, kurang lebih isinya begini.

“kalau aku ya hehehe curhat…..ga pernah maksa dia buat selalu deket atau bareng sama aku tapi dia harus tahu dimana tempat pulang. Maksudnya waktu untuk temennya dia, keluarganya, bukan aku aja. Kalau kamu mau jadi rumah tempat dia pulang, kamu harus rela dia main, kerja, sekolah (emoticon lidah melet)”

Nah, kurang lebih poinnya sama dengan teman saya yang laki-laki, yaitu bos saya. Ketika teman perempuan saya menulis ini. Saya tidak berpikir sinis. Ok, jujur masih ada sih sedikit. Tapi bukan sinis yang besar. Saya justru malah berpikir, mungkin inilah jawaban dari pertanyaan saya yang selama ini dicari, yaitu apa yang akhirnya membuat seorang laki-laki bisa memilih pasangannya untuk dinikahi. Itu dari sisi laki-lakinya. Nah, dari sisi perempuannya adalah mungkin ini jawaban juga dimana seorang perempuan sudah cukup matang berpikir dan bersikap hingga akhirnya dia siap dipilih dan dinikahi, tapi secara sadar dia juga tahu bahwa meski dengan menikah, pasangannya itu tidak sepenuhnya milik dia, tapi dia harus berbagi. 

Sekali lagi luar biasa dan betapa terharunya saya. Kemudian saya mengevaluasi diri. Sudahkah saya mampu berpikir dan bersikap seperti itu?. Mampu berbagi orang yang saya kasihi dengan orang lain?. Tapi, bukan berpoligami ya. Ha ha ha.

Setiap kali teman saya yang akan menikah, saya selalu melontarkan pertanyaan. Apa yang membuat kamu memilih dia dan memutuskan menikah?. Dari sekian jawaban yang saya dapat justru sama sekali tidak memuaskan saya, dan cenderung jawabannya klise. Karena dia yang mengerti sayalah, karena mau ngapain lagi udah kerja, udah pacaran lama, dia mengerti saya, jadi mau apalagi , bla bla bla. Justru jawaban-jawaban itu tidak cukup matang. Entahlah, atau mungkin pertanyaan itu cukup sulit untuk dijawab atau juga hanya mereka bisa merasakan hingga apa yang mereka rasakan itu sulit untuk dideskripsikan. Entahlah, mana yang benar. Saya tidak mau pusing dengan itu.

Toh, akhirnya saya mendapatkan sebuah jawaban yang matang. Dari sekian teman-teman yang sudah saya tanyakan. Justru saya dapatkan jawaban dari seorang teman yaitu bos saya yang telah menikah dan memiliki dua orang putra dan seorang lagi dari teman perempuan yang sedang merencanakan menikah akhir tahun ini. Semoga setelah pasangannya pulang dari tugas liputan khususnya, rencana mereka diberikan kemudahan oleh Allah SWT hingga ijab kabul dan hingga maut memisahkan mereka. Saya berdoa bagi kedua teman saya, semoga Allah menjadikan mereka sebagai pasangan seperti Adam dan Hawa, dan terus berpasangan hingga di akhirat nanti. Amin Ya Rabb.

Akhirnya, saya berdoa. Semoga saya dan pasangan diberi kemudahan dan pencerahan dan penyelesaian yang baik dengan apa yang sedang kami hadapi saat ini. Belum sampai garis akhir. Hanya Allah yang tahu, insyallah jika Allah menghendaki kami berjodoh seperti Adam dan Hawa, saling melengkapi, saling memahami dan mengerti dan saling mengasihi dan terus berpasangan hingga di akhirat nanti. Insyallah, Allah akan memberi kami ke arah-Nya, Amin Ya Rabb. Bismillahirrohmanirohim.

-Sepertiga malam, 03 Maret 2013, Bekasi-