PANDANGAN MATA

dua puluh empat
Tahun 2011 sudah tinggal dalam hitungan dua bulan tidak dirasa waktu berlalu begitu cepat. Kini kita semua sudah berada di penghujung akhir tahun. Begitu banyak cerita, peristiwa yang terjadi di dalam hidup kita sehari-hari. Ada yang datang dan pergi, ada yang lahir dan mati. ada yang terencana dan tidak terencana. Semua kita lalui bersama yang berbeda hanya pada ruang waktu dan lokasi yang berbeda.

Tidak ada yang benar-benar sama, pasti ada lebih dan kurang. Kita manusia hanya mampu berusaha, berdoa, berharap dan bermimpi. Semua ingin bahagia, nyaman, dan sejahtera. Mungkin iketiga hal itu yang membuat kita sama.

Tahun ini, diumur kedua puluh empat banyak hal terjadi dalam hidup saya. Mulai dari hal yang bisa diduga hingga sampai pada hal tidak terduga sekalipun. Banyak rintangan dan cobaan yang dilalui. Orang bijak akan berkata, segala sesuatu yang terjadi hanya sebuah ujian hidup yang akan meluluskan kita sebagai manusia kuat atau tidak, manusia mandiri atau tidak. Bagi saya, manusia memang bisa mandiri tapi tidak benar bisa sendiri menjalani hidup ini. Butuh sebuah pengimbang agar hidup ini tidak terlalu berat dirasa di pundak kita. Kita perlu berbagi, mulai dari kesedihan, kesenangan, amarah, dendam, hingga rasa sakit. Kita perlu berbagi.

Kalau kata george clooney di filmnya "up in the air", everybody needs a co-pilot. Kalimat sederhana bermakna dalam. Ya setiap orang butuh 'co-pilot' dalam hidupnya. Menentukan siapa co-pilot yang tepat bagi kita ini yang menjadi sebua misteri yang cukup sulit untuk dipecahkan. Susah-susah gampang, sekali tanda tangan kontrak kita akan bersama dia. Bedanya dalam dunia penerbangan, co-pilot ini bisa saja berganti dalam jangka waktu yang sudah ditentukan oleh bos besar tapi dalam kehidupan nyata lain ceritanya. Jika sudah tanda tangan kontrak di buku hijau, secara tertulis kontrak co-pilot kita seumur hidup hanya Tuhan yang tau sampai kapan kontrak ini habis waktunya. Sebenarnya tidak beda jauh, mungkin di dunia penerbangan kita bisa berkompromi tapi di kehidupan nyata bagaimana kita berkompromi dengan Tuhan??. Ada yang tahu caranya? Bisa kasih tahu saya?.

Jelang keberangkatan liputan ekspedisi ke lombok dan bali bersama tim cetak, saya pulang ke rumah, menyempatkan bertemu keluarga walaupun tidak lengkap. Adik perempuan saya harus tinggal di asrama karena pekerjaannya di kementrian luar negeri. Malam itu, kedua orang tua mulai bertanya "kapan menikah?" Dan saya hanya bisa tertawa dan tersenyum. Kemudian ayah saya melanjutkan pertanyaanya "sudah siap belum meninggalkan kehidupan 'single'?" Saya makin terseyum dan tertawa. Lalu ibu mulai menyadarkan saya dengan berkata "kok kamu malah ketawa? Ga boleh gitu, umur kamu sekarang sudah 24, sudah cukup umur untuk memikirkan masa depan kamu". Ok, mendengar kata-kata ibu, saya terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa. Merangkai kata untuk menjadi kalimat yang dapat terdengar diplomatis atau setidaknya terdengar seperti orang dewasa saja sulit, yang keluar hanya "ga tau kapan, mungkin nanti". Cih, jawaban macam apa itu.

Ibu kembali mengingatkan dengan umur saya, dimana saya harus mulai bisa memilih, memutuskan dan menjalankan keputusan saya dengan baik. Bukan berarti harus cepat-cepat menikah tetapi memilih pasangan harus dipikir baik-baik karena ini untuk seumur hidup. Ayah kembali memberikan penyataan "yang penting harus dilihat dari seorang laki-laki itu agamanya. Pemahaman agama dia bagus atau tidak. Yang lain bisa menyusul. Bukan berarti tidak penting, tapi agama itu kan ibarat pondasi, kalau pondasinya sudah baik insyallah yang lain juga baik". Saya hanya terdiam.

Siapa yang menyangka bahwa saya akan tiba dalam suatu masa seperti ini. Kalau bahasa bocah, masa orang dewasa. Dalam hati saya tertawa geli dan saya bertanya pada diri sendiri dalam waktu bersamaan "apa saya bisa melewati masa ini dengan baik?" Tidak ada yng tahu. Saya hanya bisa berdoa, memohon kepada Tuhan, semoga diberikan kemudahan dalam melalui masa ini.

Jika balik bertanya kepada diri sendiri, saya tidak tahu apa yang benar-benar saya inginkan. wakti kecil dulu sepertinya saya tahu apa yang saya inginkan. Saya ingin menjadi seorang penyiar radio, penyiar berita, saya ingin bisa merasakan kerja paruh waktu, saya ingin sekolah jurusan komunikasi, ya saya ingin ini dan itu. Alhamdulillah, sampai detik ini saya bisa mencapai keinginan itu walaupun harus melewati beberapa rintangan yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Ibarat pisau, yang harus selalu diasah biar terus tajam sehingga mampu terus untuk melaksanakan kewajibannya sebagai alat potong. Untuk kasus saya, harus terus diasah dengan rintangan agar terus mampu melaksanakan kewajibannya sebagai seorang manusia.


Bersambung.