Tuesday 3 December 2013

"Wow factor" film Gie.

Saya lupa tepatnya tahun berapa pertama kali film ini keluar, dan di bioskop mana untuk menontonnya yang pasti saya ingat adalah saat itu masih duduk di bangku kuliah antara semester dua atau tiga, atau mungkin ingatan saya juga salah. 

Hari ini saya kembali menonton film "Gie" lewat website Youtube, dan terima kasih kepada sang pemilik akun yang meng-upload filmnya sampai habis. Ketika menontonnya kembali, perasaan saya masih sama. Film ini, memiliki "wow factor" tersendiri dan somehow it feels really emotional for me,(istilah ini, saya baru tahu dan pahami dari hasil bincang-bincang dengan salah satu teman). Dan, ya, "wow factor" itu masih saya rasakan, sama seperti pertama kali saya menontonnya. Hanya saja, kali ini saya kurang lebih memperhatikan beberapa aspek yang ada di film ini.

Ok, where to begin. Akting para pemain. Hmm, menurut saya, hampir di semua para pemain di film ini, baik yang utama atau membantu, memiliki karakter yang cukup kuat. Walaupun Nicholas Saputra (sebagai Gie) adalah sang bintang utama dari cerita film ini. Segala macam bentuk emosi yang ingin ditampilkan oleh sang sutradara diperankan cukup baik oleh setiap para pemain meskipun ada beberapa hal yang sedikit menganggu saya. Cara jalan Soe Hok Gie yang menurut saya kurang jantan, karena dalam benak saya, Gie, sosok mahasiswa yang berkarakter kuat sebagai laki-laki, dengan pemikiran-pemikirannya yang berani, lugas, dan memberontak, meskipun ada sisi sensitif, lembut melankolis di dalam dirinya. Apakah cara jalan dan pemakaian atribut tas di bahu menjadi sebuah simbol sensitivitas dari Gie??, atau ini adalah hasil dari bagian riset dari tim pembuat film mengenai karakter fisik Gie, sehingga tidak hanya menampilkan kisah seorang mahasiswa pemberontak yang memperjuangkan keadilan di Indonesia tapi juga ingin menampilkan bagaimana gerak gerik Gie ketika di masa hidupnya, dan juga Nicholas Saputra terlalu tampan untuk mewakili Gie. Meskipun ketampanan Nicholas Saputra bisa dikatakan sebagai daya tarik untuk minat masyarakat menonton film yang cukup kental bercerita tentang sejarah indonesia di masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Soeharto. Jujur saja, pada masa film ini keluar siapa yang mau nonton film tentang sejarah sih??. Kecuali bagi mereka yang mengenal sosok Gie dan tahu akan perjuangan dia, sebelumnya siapa yang mengenal Gie, apalagi generasi saya yang cenderung cuek dan lebih tertarik pada budaya barat, kecuali bagi mereka yang aktivis kampus (mungkin).

Ketampanan pemeran utama memang jadi daya tarik yang sukses tapi bagusnya Nicholas Saputra cukup piawai memainkan karakter Gie, meskipun saya cenderung lebih memperhatikan akting Jaka yang diperankan oleh Donny Alamsyah. Karakternya tidak berperan banyak tapi cukup mencuri perhatian dengan aktingnya yang mampu mewakili kerasnya jiwa pemberontak idealis kampus namun kalah juga akhirnya dengan materi dan kemewahan yang ditawarkan oleh kedudukan di pemerintahan. Singkat tapi padat dan kurang lebih mewakili realita yang ada di pemerintahan saat ini, dan terbukti banyak yang seperti itu bukan?.

Dari durasi film yang kurang lebih dua jam, bagian paling menarik bagi saya adalah tembok yang pertama kali muncul di adegan pertama film ini. Di mana, dari awal hingga akhir tembok ini hampir selalu ada di setiap adegan, seperti menjadi simbol pergantian waktu. Mulai dari penulisan revolusi, ganyang PKI, hingga akhirnya tembok itu diruntuhkan dan diganti dengan pagar seng yang bertuliskan "dilarang berjualan di sini", dan pada masa adegan itu berlangsung militerisme berkuasa di pemerintahan Soeharto. Tembok itu seperti menjadi simbol saksi bisu sejarah dari apa yang dialami Soe Hok Gie dan masyarakat pada masa itu. Entah ada atau tidak benarnya tembok itu di kehidupan nyata, tapi sang sutradara seperti ingin menyiratkan pesan tersendiri dengan visual tembok itu. Lalu, suara adzan yang hampir ada di setiap adegan yang menggambarkan visualisasi pagi, malam, atau pun subuh , entah apa maksud dari sutradara menampilkan visual rumah-rumah dan menara mesjid dengan suara adzan. Apa yang saya tangkap adalah bahwa masyarakat indonesia didominasi beragama Islam dan Gie adalah warga indonesia keturunan Tionghoa beragama Kristen Katolik yang menjadi minoritas, dan visual ini menyiratkan bahwa sosok Gie tidak pernah membeda-bedakan manusia atas dasar agama atau ras dan yang dia pedulikan adalah sebuah keadilan bagi bangsanya.

Hmm, kemudian yang membuat saya berpikir juga adalah bagaimana tim properti mencari lokasi yang mampu menampilkan kondisi kota Jakarta di tahun 60-an, mengingat cukup sulit mencari gedung-gedung atau rumah-rumah tua yang masih berdiri di Jakarta, dan juga mengumpulkan sekian banyak mobil-mobil yang mewakili tahun tersebut. Saya sebagai penonton jadi terbawa suasana akan kota Jakarta tempo dulu, apalagi ketika Gie pulang sekolah setelah pembagian raport bersama Ibunya, dan ketika Gie minum es cendol dan sang Ibu datang menghampiri. Saya jadi bertanya-tanya apa benar dulu di Jakarta ada taman seperti itu, dimana para pedagang berkumpul menjajakan jualannya. Taman atau pasar pedagang kaki lima mangkal itu memberi kesan yang sangat natural dan humanis. Meskipun kini Jakarta masih memiliki taman di tengah kota tapi nuansanya berbeda, angkuh dan tidak bersahabat walau sang taman mengisyaratkan untuk datang berkunjung, tapi manusia modern lebih memilih ke mall daripada ke taman kota karena dianggap tempat kumpulnya kelas sosial ke bawah dan terkesan kriminal. Di film ini, bagi saya taman kota itu lebih bersahabat, setiap kelas sosial datang dan menikmati atau paling tidak melewati taman itu. Ah, jaman sudah berubah.

Cinta. Kisah drama cinta. Sepertinya film kurang sah kalau tidak ada drama cintanya. Hmm, kisah cinta anak muda, di film ini tidak banyak adegan ataupun naskah yang menceritakan kisah cinta Gie secara gamblang, namun beberapa adegan mengisyaratkan cinta Gie jatuh pada gadis bernama Ira. Ketika Gie datang ke rumah Ira dan duduk berdua meskipun ditambah dengan naskah pertanyaan Gie terhadap Ira, adakah kerikuhan yang dirasa Ira ketika berdua dengannya. Sebenarnya, menurut saya tanpa ada naskah pun emosi sudah terbangun dengan alunan musik dari Titiek Puspa lalu ditunjang pula dengan suasana lampu temaram sudah berhasil membangun suasana dramatis romantis, sehingga tanpa adanya Gie bertanya pun, kerikuhan itu sudah terasa, tapi toh  mungkin tujuan sutradara, naskah itu lebih ingin menekankan dan memastikan perasaan yang ada di antara mereka biar ada bumbu drama semakin menjadi biar tidak seperti film tanpa naskah atau hanya pemanis saja. Kemudian, adegan Gie tertawa di depan pagar rumah diselingi dengan menangis namun ditutupi dengan tawa, kesan yang didapat betapa Gie merindukan dan membutuhkan Ira pada saat itu, hingga tawa dan tangis Gie menjadi naskah itu sendiri. 

Lalu, adegan Gie duduk di puncak Gunung Semeru, ketika dia menulis di buku hariannya dengan kalimat, "kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta". Ah, kalimat ini maknanya dalam, begitu menjelaskan secara tersirat kenapa Gie dan Ira tidak bisa bersama (mungkin) dan visualisasi dengen kesendirian Gie di puncak sambil duduk setelah mengalami rasa lelah, terasing, patah hati, namun Gie tahu kemana dia ingin berpulang, pada akhirnya seberapa kuat, tegarnya laki-laki, dia akan butuh perempuan sebagai sandaran tempat berpulang melepas lelah dan rindu. Dan, ya, ternyata cinta Gie begitu dalam kepada Ira dan dipendam, dan menjadi penutup akhir cerita Gie di masa hidupnya.

Dramatis dan penuh emosi,  lalu narasi kalimat Gie "haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram, wajah-wajah yang tak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti, sepeti kabut pagi itu", lalu disambut dengan adegan Han, sahabat kecil Gie yang meninggal ditembak di pulau Bali saat pemberantasan pengikut PKI, adegan ini menceritakan dimana Gie meninggal di Gunung Semeru. Sang penulis skenario berhasil mengkawinkan antara kalimat Gie yang menjadi narasi dengan visual yang dramatis, suasana pagi dingin di atas gunung. Mengisahkan Gie meninggal yang meninggal karena gas beracun dari Gunung Semeru dengan melankoli perasaan terasing namun bebas dan juga lelah tapi juga lega.

Satu lagi, bagaimana sutradara menggambarkan adegan sejarah tentang pemberantasan pengikut PKI yang ditembak oleh militer secara rahasia di pulau Bali. Dengan adegan Gie duduk menonton pertunjukkan wayang dengan kerut di dahi dan peluh di muka, menggambarkan kekhawatiran dan kesedihan juga rasa penasaran Gie terhadap apa yang terjadi terhadap sahabat kecilnya, mempertanyakan dan berusaha menguak apa yang disembunyikan oleh pemerintah saat itu. Adegan di film ini bolak balik ke Gie yang menonton wayang, lalu Han yang disekap di penjara,  lalu pertunjukkan wayang, lalu ditutup dengan Han tersenyum lega melihat pantai, lalu meninggal ditembak di salah satu pantai di pulau Bali. Hmm, betapa persahabatan diantara laki-laki begitu intim, kuat, dan bermakna dibanding perempuan, dengan adegan itu, menampilkan emosi Gie yang sedih teringat sahabat kecilnya, sayang jika melihat kondisi sekarang jika persahabatan karib antara laki-laki suka disalah artikan, atau jaman sudah berubah? iya (mungkin). 

Wayang, saya jadi bertanya kenapa dengan pertunjukkan wayang? Mengapa sutradara mengaitkan pertunjukkan wayang dengan kisah pemberantasan pengikut PKI?. Dengan apa yang saya tahu, pertunjukkan wayang menyimpan suatu isyarat dan terkesan misteri dan rahasia, begitu pula dengan kisah yang terjadi dengan sahabat Gie, memiliki isyarat, misteri dan rahasia dari pemerintahan yang berkuasa pada masa itu. Gie berusaha menguak cerita itu dengan menerbitkannya melalui surat kabar, dimana surat kabar tersebut menimang kembali untuk menerbitkan tulisan Gie, yang berarti (mungkin) kisah sejarah itu memang diisyaratkan untuk menjadi misteri dan rahasia. Ah, entahlah, seingat saya belajar sejarah di masa sekolah dulu, saya tidak pernah baca ini atau memang lupa atau memang tidak peduli??.

Oh, adegan ketika pemerintahan Soekarno jatuh, sangat dramatis. Dibuka dengan adegan Gie bangun tidur lalu loncat ke adegan Soekarno bangun dari tempat tidur, berjalan keluar dengan masih memakai pakaian tidur, lampu di istana satu per satu mati. Dengan suara berita dari radio menjadi narasi yang lalu berhenti dilanjutkan dengan alunan musik dramatis menandakan masa pemerintahannya telah berakhir, Soekarno habis, dan adegan Gie mandi menjadi cerita akan hari baru bagi Gie setelah perjuangannya menggulingkan pemerintahan Soekarno.

Adegan yang menyentuh bagi saya adalah saat Gie membuka percakapan dengan ayahnya. Selama di film, ayahnya tidak pernah berkata apapun dan jika tidak tahu sejarah tentang Gie, kita tidak tahu apa sebenarnya pekerjaan ayah Gie, tapi adegan ini menjawab siapa dan apa sebenarnya ayah Gie. Mungkin karena terkoneksi dengan masalah pribadi, adegan ini begitu menyentuh saya, meskipun ayahnya tidak pernah berbicara tapi dengan duduk diam di meja saat Gie tertidur pulas memberikan sentuhan emosional yang kental bahwa sang ayah khawatir dan perhatian terhadap anak lelakinya dan Gie mengambil momen itu untuk berbicara kepada ayahnya. Suasana dengan lampu minim, buku catatan merah dan mesin tik, seolah berbicara dan mewakili emosi yang terjalin di antara ayah dan anak laki-lakinya.

Hmm, saya masih "wow factor" dengan film ini, sejauh ini, film "GIE" sukses menceritakan kisah hidup seorang pejuang muda tahun 60-an yang memegang peranan dalam sejarah Indonesia. Setidaknya, dengan menonton film ini menjadi sebuah mediasi lain dalam menyampaikan sejarah  Indonesia melalui kacamata seseorang yang berjuang menegakkan keadilan dan pemerintahan yang bersih di negara ini, dan ironinya sampai saat ini belum terwujud. Kalau bagi saya pribadi, film ini wajib masuk dalam koleksi film, karena, mungkin di masa depan menjadi media cerita pengingat bahwa perjuangan Gie masih terus berlanjut dan (mungkin) diharapkan akan lahir Gie-Gie yang lain, demi mewujudkan Indonesia lebih baik.