Tuesday, 10 December 2013

Malam panjang di Eropa. Bagian 2

Aku duduk termenung di depan layar laptop menyala. Baru saja selesai chatting dengan salah satu teman di kampus melalui media sosial facebook, setelah dia berpamitan untuk tidur aku kembali termenung dan mulai kembali berkhayal, menerawang malam. Sudah dua malam ini tidak turun hujan, jendela kamarku kering dan kini aku merindukan titik air hujan yang melekat di jendela. Ada sebuah simpul cerita menarik ketika mengamati titik-titik air hujan itu. Mungkin aku terlalu melankoli sebagai pribadi, tapi kesendirian ini membawa aku ke alam melankoli dan tak jarang aku menemukan hal-hal positif yang menjadi penyemangatku disini.

Terulang lagi. Aku kembali tertidur pukul delapan malam waktu Manchester dan kupikir akan terbangun saat terang mulai muncul, ternyata masih gelap. Aku terbangun pukul sembilan malam. Kejadian ini sudah terulang beberapa kali dalam tiga hari berturut-turut, perbedaannya hanya pada waktu tidur dan bangun. Hasilnya aku akan terbangun sampai pukul lima pagi atau jika kupaksa untuk tidur kembali, pukul tiga pagi aku pejamkan mata demi menjaga kesehatan. Tapi apalah bedanya.

Aku mengambil sebatang rokok Sampoerna yang sengaja kusimpan setelah kudapatkan secara gratis saat mengunjungi teman di Coventry. Kupikir rokok Sampoerna tinggal sisa satu batang ternyata masih ada dua batang dan kedua batang rokok ini akan aku simpan hingga nanti, jika aku mendapatkan kiriman. Itu jika aku mendapat kiriman dari Jakarta. Sambil asik mengepul asap dari tembakau Indonesia, aku pun kembali menerawang. Menelaah apa yang kurasa beberapa waktu ini. Siang tadi ketika ke dapur saat menyiapkan makan siang, aku menemukan dua bungkus kado dan dua kartu ucapan. kartu pertama ucapan natal dan kedua kartu ucapan ulang tahun yang tanggalnya masih di akhir bulan. Kedua bungkus kado ini kudapatkan dari salah satu teman flatku yang asli orang Inggris dan tinggal di Essex, di selatan kota London. Temanku ini baru saja berumur 22 tahun, kelakuannya masih sangat anak-anak. Seringkali membuat dapur berantakan, berisik, dan jorok. Tapi ada beberapa hal yang jadi pengecualian, memang dia cukup perhatian untuk beberapa hal meskipun akhir-akhir ini aku banyak menghindari temu sapa dengannya. Karena aku sedang tak ingin berbasa-basi. Tapi, aku cukup tersentuh karena kedua kado itu dan sungguh berterima kasih, lalu aku pun mulai berpikir untuk membeli hadiah natal untuknya.

Ya, akhir-akhir ini aku sedang tidak ingin berbasa-basi dengan kedua teman flatku. Selain teman flatku yang asli orang Inggris, namanya Helen, dan satu lagi teman flatku berasal dari Vietnam, namanya Loan. Aku cukup sering berkomunikasi dengan Loan dibanding Helen. Mungkin karena sesama Asia dan memiliki beberapa kesamaan dalam tata krama, kebersihan, kerapihan dan hal-hal simple lainnya. Seperti menutup pintu dapur tanpa suara. Helen sering sekali menutup pintu dengan cara membanting, memang tidak dia lakukan secara sengaja tapi karena kamarku persis di samping dapur, sering kali aku mendengar suara pintu dapur terbanting, lama-lama aku bisa jantungan. Akhirnya aku sampaikan rasa tergangguku kepada Helen mengenai pintu dapur. Berhasil, dia tidak melakukan hal itu lagi tapi hal lain masih saja terjadi, seperti saat dia mencuci piring dan merapikan piring dan alat masak lainnnya ke dalam lemari. Aku bisa pastikan pasti akan selalu ada suara dari dapur seperti mendengar orang sedang bertengkar. Aku malas berbicara jadi untuk hal itu kudiamkan saja dan berusaha berdamai dengan keadaan.

Entah kenapa beberapa hari ini aku malas sekali berbasa-basi. Aku hanya ingin diam di kamar dan tidak ingin diganggu. Bahkan sore tadi Loan dan Helen mengetuk kamarku tapi kudiamkan saja, padahal aku di kamar sedang duduk di depan laptop membaca beberapa artikel psikologi yang ditulis oleh temanku. Aku sedang tidak ingin diganggu maka kudiamkan saja ketukkan itu. Tak ada salahnya jika kubuka pintu itu dan berbincang-bincang sejenak. Tapi tak kutemukan chemistry untuk duduk makan malam bersama. Kali ini saja.

Inilah bulan Desember. Buatku bulan ini penuh makna. Selain menjadi bulan terakhir di setiap tahun, aku lahir di bulan ini, tiga hari menjelang pergantian tahun. Bulan ini menjadi sebuah kompilasi dalam semua peristiwa yang ada di dunia baik secara nasional dan internasional. Tapi ini sekaligus menjadi kompilasi peristiwa kehidupan pribadi. Entah akhir-akhir ini aku hanya ingin sendiri di dalam kamar ketika sampai di flat.

Jumat lalu, aku dan temanku Lili yang asli orang Perancis, memutuskan untuk pergi ke salah satu bar di kota. Kami sudah merencanakan ini jauh hari. Lili bilang "we need to lay off from our assignments, we need to have good drinks". Dan akupun mengiyakan ajakan Lili. Tak ada salahnya bagiku untuk keluar malam ke kota kali ini, dalam pikiranku adalah aku akan duduk bersama dengan orang-orang seumuran dan berharap bisa menjalin komunikasi yang lama kunantikan. Topik pembicaraan sederhana tapi tidak terlalu berlebihan seperti teman flatku Helen. Mungkin topik pembicaraan yang kurang lebih dewasa.

Jumat malam itu setelah kami selesai dengan tugas editing, akhirnya kami pergi menuju ke salah satu bar di kota, namanya Thirsty Scholar. Hmm, namanya cukup mewakili dari pribadi kami berdua malam itu. Bar yang terletak di bawah jembatan rel kereta api ini cukup menarik. Tidak besar tapi nyaman dan seperti layaknya English Bar kebanyakan, karena sudah masuk akhir minggu, bar dipenuhi dengan banyak orang berjas malam itu. English man in a suit, what a tempting scenery for that night. Yang lebih menyenangkannya lagi adalah di bar ini ada tempat duduk di luar dimana kami bisa menikmati bir dan rum cola sambil merokok. Walau suhu malam itu 9 derajat celsius. Aku pun tertawa geli dalam hati, mengingat masa dimana hari-hari sebelum aku berangkat ke Inggris. Aku kerap kali menghabiskan waktu sepulang kerja pergi ke salah satu tempat minum di daerah Gandaria, namanya Camden. Dan, akupun rindu teman-teman di tanah air, tapi aku pun menikmati pertemanan baru ini.

Kami berdua duduk di luar dan tak lama teman kami dari Wild Life Documentary, namanya Stuart, dia berasal dari Jerman. Kami pun mulai berbincang-bincang soal mata kuliah dan keluhan-keluhan terhadap kekecewaan yang dirasa di semester satu ini. Ternyata kami merasakan hal yang sama.

Jumat malam masih panjang di Manchester, setelah dari Thirsty Scholar, kamipun pindah menuju salah satu bar untuk bertemu dengan pacar Lili yang asli orang Inggris, namanya Albert. Kami pergi menuju bar namanya The Font. Malam itu aku menghabiskan waktu bersama Lili dan pacarnya dan teman-temannya. Ternyata aku baru tahu bahwa Albert, pacar Lili, sedang mengambil studi S3 dalam bidang Nuklir begitu juga teman-temanya yang mengambil studi S3 dengan berbagai bidang. Diantaranya penelitian tentang Titanium, Metal, dan lain-lain. Entahlah, aku sudah tidak konsen malam itu, mungkin karena dua gelas bir besar yang habis kuminum dan juga mungkin aku khawatir pulang malam sendiri naik taksi. Setelah dari The Font, kami pindang menuju salah satu bar yang kulupa namanya apa, kami pergi untuk bertemu dengan salah satu teman kelas kami, namanya Sander, orang asli Belanda. Sekitar sejam duduk di dalam dan minum satu gelas bir, akhirnya kami memutuskan untuk keluar dan aku memberanikan diri bilang "i need to go home".

"are you ok Nisa?". Tanya Lili.

"yeah, i am ok". Kataku yakin

"you seem kind of distance". Kata Lili.

"no, i am fine, i am having a good night tonight, really, i am. Is just that i can't take my mind off from the two projects, that's all". Kataku.

"aren't we all dear". Kata Lili

"yeah, so, i'll see you on monday then?". Kataku

"yeah sure, you take care baby girl. have a good weekend". Kata Lili.

Aku pun menyetop taksi dan masuk ke dalam. Dalam perjalanan pulang, aku mengamati pemandangan jumat malam di kota Manchester. Ada rasa sepi yang tiba-tiba datang melanda, mengharapkan ada seseorang yang bisa kuajak bicara dan tertawa lepas malam itu. Tapi ada pula rasa syukur karena aku disini. Aku di benua Eropa, jauh dari orang-orang yang kukenal setiap hari, muka-muka familiar yang kini kurindukan. Tapi ada pula perasaan yang sampai saat ini sulit untuk aku deskripsikan. Apapun rasa itu aku hanya mengucap syukur atas apa yang kudapat hari ini dan tentunya selamat sampai di rumah.

Jumat malam di Manchester, masih panjang. Sesampainya aku di kamar, aku ganti baju dan bersih-bersih dan seperti biasa aku duduk manis di meja belajar sambil menatap layar laptop yang menyala dan memasang lagu-lagu favorit di playlist Itunes. Mulai mengecek beberapa email pribadi dan email kampus dan tentunya e-learning kampus di Blackboard sistem. Aku lelah, kuputuskan untuk mematikan laptop, dan aku pun naik ke kasur dan menyelimuti diri agar merasa hangat betul dan mengambil salah satu buku yang ada tepat di rak dekat kedua jendela besar kamarku. Buku Sophie's World membawaku ke alam fiksi tentang pengenalan dunia filsafat.

.......

Monday, 9 December 2013

Malam panjang di Eropa. Bagian 1.

Tik..tik..tik..tik.. seperti itukah bunyi air hujan jatuh dari langit?.

Hari minggu belum berakhir. Masih pukul lima sore waktu Manchester, tapi gelap seperti pukul sepuluh malam waktu Jakarta. Jendela kamar sengaja kubuka agar udara segar masuk ke dalam kamar, selain itu juga dikarenakan saat bekerja ataupun santai aku suka merokok di dalam kamar meski dilarang oleh pengelola gedung. Minggu sepi. Seharian aku habiskan hari dengan bermalas-malasan di dalam kamar. Berselimut di kasur sambil membaca atau mengecek media sosial sambil ingin tahu ada apa dengan teman-teman di Jakarta atau selain itu aku habiskan waktu dengan berkhayal. Ya, berkhayal? anehkah kedengarannya?.

Kuputuskan bangun dari kemalasan di kasur. Tanpa sadar hujan sudah turun dan bercak air hujan menetes turun di jendela kamar. Angin mulai berderu kencang, hawa dingin mulai mendominasi kamar dan akupun mulai mengigil. Kamarku berada di lantai 15. Ini bukan apartemen mewah layaknya di Jakarta tapi ini lebih kepada sebuah flat berlantai 15 dan setiap flat ada yang berisi tiga atau empat kamar. Aku, kebetulan mendapat flat yang berisi tiga kamar, meski harus berbagi dapur dan kamar mandi tapi paling tidak aku punya kamar sendiri. Kamar yang kutempati cukup dibilang besar, ruangan yang berukuran 3 x 6 m dengan dua jendela besar yang menghadap ke gedung flat lain dan pemandangan rumah penduduk. Jika malam tiba atau jelang matahari terbenam adalah pemandangan terbaik yang bisa dinikmati dari jendela kamarku. Tidak banyak perabotan di dalam, hanya beberapa furnitur sesuai dengan fungsinya, tempat tidur kasur yang dibawahnya terdapat empat laci yang bisa diisi dengan barang-barang, lemari pakaian, meja belajar, rak buku dinding dan pemanas ruangan. Kamarku adalah rumah kecilku yang sengaja kubuat senyaman mungkin, sehingga aku merasa nyaman berjam-jam di dalam kamar, dan memang aku selalu berhasil membuat nyaman untuk "kandangku" sendiri. Tidak ada yang mewah, semua serba sederhana, semua yang ada sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya masing-masing.

Aku duduk di meja belajar dengan laptop menyala. Genap sudah tiga bulan aku merantau jauh dari rumah. Kebiasaan bermalas-malasan masih melekat, tapi pembelaanku adalah tak ada salahnya menikmati waktu tanpa melupakan prioritas kewajiban. Hari ini, kalender menunjukkan tanggal 27 Oktober 2013, beberapa teman di kampus kemarin lalu mengingatkan untuk memundurkan waktu satu jam lebih lambat. Musim gugur segera berakhir dan selamat datang musim dingin. Perdebatan soal waktu ini ternyata dibahas di berita nasional di Inggris, haruskah tiap memasuki musim dingin, kita mengatur ulang waktu satu jam lebih lambat?. Tampaknya perdebatan belum menemukan solusi dan harus tetap mengalah dengan sistem waktu Greenwich.

Brrr...angin malam makin dingin dan suaranya semakin kencang. Karena berada di lantai paling atas, suara angin semakin kuat terdengar. Inilah musim dingin di Eropa. Pukul empat sore tadi matahari mulai terbenam dan gelap semakin gulita. Aku bahkan sering ragu jika pulang malam dari kampus padahal waktu masih menunjukkan pukul enam sore.

Hari ini aku merasa lelah, entah karena apa. Padahal aku tidak banyak melakukan aktivitas. Mungkin otakku yang lelah, banyak berpikir tapi tak ada aksi, yang nyata hanyalah menunda. Aku pergi ke dapur. Memasak adalah salah satu pelarianku kini ketika merasa mulai banyak pikiran dan tak bisa berlaku banyak dan memasak pula menjadi obat bagiku untuk merasa tenang dan nyaman, ya, mungkin karena ini urusannya dengan perut kenyang. Dan memasak ternyata sebuah "hobi" yang terpendam sekian lama. Aku merasa hidup dan sepenuhnya menjadi perempuan. Di saat waktuku sendiri di dapur, tanpa kehadiran dua teman flat, aku kadang berkhayal. Aku memasak untuk diriku dan seseorang yang sebentar lagi pulang. Menanti seseorang pulang dengan muka lelah dan kedinginan, lalu kusambut dia dengan masakan hangat dan muka lelah menjadi sumringah. Dengan pelukan hangat dan kecup di pipi kiri kanan dan kening sambil berkata "makan yuk, aku udah masak buat kamu". Hal paling dasar bagi manusia untuk bertahan, makan. Tapi itu hanyalah khayalan, kenyataannya aku memasak untuk diriku sendiri dan inilah yang paling aku suka, ketika masakan sudah matang. Aku mulai menata meja belajar ku agar terdapat ruang bagi beberapa piring yang akan aku bawa ke dalam kamar, laptop sudah menyala siap menayangkan beberapa film untuk menemani ku saat makan. Meskipun film itu sudah berkali-kali aku tonton, tetap saja aku menikmatinya.

Ini masih hari minggu dan besok senin. Sudah tidak ada mata kuliah yang wajib aku hadiri tapi hari-hari akan dipenuhi dengan mengerjakan tugas yang menjadi ujian semester pertama. Malam masih panjang, aku duduk sambil makan dengan menonton "She's all that". Film lama di saat masih duduk di bangku SMA.

.........

Sunday, 8 December 2013

hujan malam.

Masih pukul lima sore waktu Manchester tapi langit sudah gelap gulita seperti pukul sepuluh malam waktu Jakarta.

tik..tik..tik..tik.. seperti itukah bunyi air hujan yang jatuh dari langit?. 

Setengah jam lalu, saya baru saja selesai makan, setelah lewat sarapan pagi dan makan siang. Jendela kamar terbuka sekitar tiga puluh sentimeter, suara angin mulai menderu kencang. Hawa dingin mulai merasuki kamar di lantai lima belas. Album The Milo asyik berputar di Itunes playlist minggu sore ini. Minggu sepi.

Salah langkah. Harusnya tidak melakukan apa yang dilakukan satu jam yang lalu. Damn!. Merasa bodoh, walaupun tidak banyak. Hanya sekali lagi, mengulang kebodohan yang sama karena rasa tidak sabar. Ingin ada lawan bicara.

Rasanya tidak perlu jauh-jauh berpikir dan mencari tahu akhir dari cerita selewat ini, karena sejarah hanya berulang. Dan, lagi-lagi saya hanya berputar di lingkaran yang sama. Harus berapa kali lagi saya melewati ini?. 

Lebih baik tidak punya rasa daripada punya rasa tapi terbebani.  

Senyum-senyum kecil itu mulai mereda dan perlahan pergi ke tempat asalnya. Entah bisa bertemu lagi atau tidak. 

Bermain-mainlah dengan rasa tapi berhati-hati lah, layaknya kamu bermain dengan api. Berawal dengan keseruan, menghangatkan tapi tak pernah tahu jikala api akan membakar kamu.

Lukanya membekas, tak pudar oleh waktu bahkan keriput kulit tidak bisa menutupi luka bakar itu. Jadi, berhati-hatilah jika kamu bermain-main.


Salford, 8 Desember 2013, minus 3 derajat celsius.