Wednesday 8 April 2015

Malam.

Pukul 01.37


Malam. Bagi saya selalu menjadi sebuah waktu istimewa. Selain karena malam adalah waktu untuk pulang setelah beraktifitas di kantor, malam juga adalah waktu untuk saya menerawang jauh, entah ke masa kini, masa depan ataupun ke masa lalu. 

Ada kalanya malam bagi saya menjadi waktu yang begitu istimewa, rasanya tak ingin pagi segera datang, ingin setiap detik malam melambat saja. Tetapi, ada kalanya malam menjadi waktu yang mengkhawatirkan, saya menjadi takut, sedih, ingin menangis tak berhenti. 

Saya merindukan waktu malam ketika saya merasakan tenang, kesunyian dan hampa, merasa dekat dengan Sang Pencipta, hubungan intim di kala saya bersujud dan mengakui sambil terbayang hal dan ucapan apa saja yang telah saya lakukan hingga mungkin menyakiti ataupun menyinggung orang.

Namun, kali ini malam bagi saya menjadi waktu yang tak tentu arah. Semua perasaan campur aduk seperti kabut yang kalut hingga menutupi jarak pandang. Di detik ini saya merasa tenang, namun di detik kemudian saya merasa marah, lalu di detik berikutnya saya merasa sedih, dan kunci pasti untuk ini adalah tenang. 

Ketenangan, saat ini bagi saya seperti berada di perahu terombang ambing di laut ketakutan, angin menghajar dari kiri dan kanan, gemuruh petir dan awan hitam pekat, sambil berdoa semoga esok matahari menyingkapkan sinarnya, merobek awan-awan hitam hingga sinar matahari menembus masuk, beri harapan bahwa esok sinar matahari akan menjadi penjaga dan berikan ketenangan. 

Malam, kini bagi saya menjadi waktu terlemah. Ya, titik terlemah dalam waktu saya. Ketika beberapa menit lalu mencoba untuk menutup mata, setelah, sebelumnya mencoba mengundang kantuk dengan membaca, saya putuskan menutup buku itu langsung. Lalu, bayangan dan pikiran akan perubahan yang akan terjadi di bulan depan membuat saya jadi ciut. Bagaikan anak kecil yang mencari perlindungan pada Ibu karena suara petir yang menggelegar. Saya rindu bermanja dengan Ibu, atau mungkin saya lupa apa pernah saya bermanja-manja dengan Ibu. Di umur saya yang hampir akan berkepala tiga, dalam waktu dua tahun, saya justru ingin sekali bermanja-manja dengan Ibu. Terlebih di waktu malam. 

Kemudian, ada keinginan ingin menghabiskan waktu bersama Ayah. Sayangnya, hanyalah sebuah khayalan, namun tak salah bukan jika berkhayal? Yang menjadi soal adalah bagaimana mewujudkannya? Dan, bagaimana jika tidak terwujud? Lalu, bagaimana saya akan menyikapinya? Sedih? Sudah pasti! Tetapi, perlukah disesali karena telah mencoba? Tidak. 

Beberapa waktu belakangan ini, malam saya menjadi pilu. Amarah yang membuncah karena emosi. Sepele, karena komunikasi yang tidak tepat dan karena saya sudah antipati. Sungguh sedih melihat kondisi ini, saya ingin berkomunikasi dengan baik tapi nyali saya belum terkumpul rapih dan saya cenderung sensitif sehingga akan mudah sekali menangis. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa saya adalah pribadi perasa. Terutama jika menyangkut hal-hal tentang keluarga, cinta dan rasa. Namun, soal cinta, saya kesampingkan saja, saat ini, karena cenderung skeptis. 

Konsentrasi saya terpusat pada keluarga. Malam menjadi perih, saya ingin berada di tengah kasur mereka. Ingin menciutkan kembali badan saya dan merengek manja pada mereka. Inginnya begitu. Pilu rasanya tahu akan realita yang ada. Ah, saya memang melankolis  jika menyangkut mereka. Meski ada rasa kecewa terhadap mereka, tapi saya sayang bahkan cinta. 

Mengingat kembali di hari itu. Di saat mereka menjemput saya di bandara setelah kepulangan saya dari Bali, hasil kabur dari masalah patah hati, saya merasa tak ada yang tulus menyayangi. Namun, malam itu (ya, malam hari) mereka jauh-jauh dengan tulus sengaja menjemput ke bandara karena tahu selepas malam bis Damri akan lama di dapat untuk jurusan Bekasi. Mereka baru saja pulang dari kantor, dari kejauhan keduanya terlihat sudah berumur, meski masih terlihat gagah dan elegan dengan pakaian kantornya. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe, dari kejauhan saya melihat mereka saling diam, langsung jelas teringat realita hubungan mereka bagaimana, tapi saya tepis realita itu karena bukan itu yang menjadi fokus saya tetapi bahwa terlalu bodoh bagi saya berpikir bahwa tak ada orang yang akan dan mau mengasihi saya dengan tulus, tanpa harus menuntut ini dan itu. 

Mereka adalah bukti nyata yang mengasihi saya dengan tulus, menerima saya dengan baik dan buruk meskipun (tetap) ada tuntungan ini dan itu. Terlepas dari itu, kasih mereka tanpa pamrih, tanpa saya minta mereka akan beri lebih. Jika saja, kami terbuka, mungkin malam itu saya ingin memeluk mereka erat dan tanpa sadar air mata pun jatuh di pipi. Nyatanya tidak begitu, saya mencium kedua tangan mereka, dan dalam hati saya menangis sambil mengucap terima kasih. 

Karena malam itu, saya pun menjadi tenang. Bahwa seberapa pesimisnya saya merasa tak akan ada orang yang mau menerima dan mengasihi saya tanpa tuntuntan, saya akan selalu ingat bahwa akan selalu ada mereka yang kasihnya akan terus mengalir tanpa henti untuk saya. Baik saya minta ataupun tidak. Haruskah saya meminta? Tidak. 

Ketakutan malam cenderung mengarah kepada kekecewaan. Takut buat mereka kecewa. Ya, lagi-lagi karena saya perasa dan pemikir. Pemikir kepada hal-hal yang sebenarnya tak perlu dipikirkan sekarang karena justru saya akan lupa menikmati masa sekarang. 

Malam ini, tetiba datang perasaan sayang, sedih dan juga rindu secara bersamaan. Terlebih kepada rasa rindu, rindu mereka, rindu menjadi anak kecil sehingga bisa bermanja nakal sekaligus menjaili mereka, membuat mereka tertawa dan geleng kepala karena tingkah konyol saya bukan karena tingkah saya yang belakangan ini mungkin bikin mereka sakit kepala dan (mungkin) kecewa. Sungguh dalam hati tak ingin saya buat mereka kecewa, saya ingin selalu buat mereka bangga. 




No comments: